MASYARAKAT
MULTIKULTURAL
A. Pengertian
Masyarakat Multikultural
Menurut
Kun Maryati dan Juju suryawati dalam bukunya “Seri Pendalaman Materi Sosiologi
SMA dan MA” (2008) menjelaskan bahwa masyarakat multikultural merupakan
bentukan dari masyarakat modern yang anggotanya terdiri atas berbagai golongan,
suku, etnis (suku bangsa), ras, agama, dan budaya. Mereka hidup bersama dalam
suatu wilayah local maupun nasional, dan bahkan mereka juga berhubungan dengan
masyarakat internasional, baik secara langsung maupun tidak langsung.[1]
B. Ciri
– Ciri Masyarakat Multikultural
Firtz
H.S. Danamik dalam bukunya yang berjudul “Fokus Sosiologi Siap UN SMA/MA”
(2009) berpendapat bahwa masyarakat multicultural bercirikan sebagai berikut :
1. Sarat
kemajemukan
2. Konflik
yang muncul sebagai dampak dari kemajemukan, transfortasi, dan reformasi social
dapat dikelok secara cerdas
3. Berpegang
teguh pada nilai toleransi, yakni sikap sabar membiarkan perbedaan, sehingga
konflik dapat dicegah atau selesai dengan sendirinya
4. Masyarakat
yang bermoral, bersikap demokratis, dan mengembangkan empati terhadap satu sama
lain
5. Mampu
menghargai diri sendiri dan orang lain dari
berbagai latar belakang yang berbeda
6. Proses
pembelajaran nilai, pengetahuan dan ketrampilan hidup dalam masyarakat yang multikultural
berlangsung sebagai bagian dari kesehatan anggota masyarakat.[2]
Sedangkan
menurut Kun maryati dan Juju Suryawati, cirri – cirri masyarakat multicultural
antarlain :
a. Menjunjung
tinggi perbedaan kelompok social, kebudayaan, dan suku bangsa
b. Tidak
ada kesenjangan atau perbedaan hak dan kewajiban diantara mereka
c. Memperjuangkan
kesederajatan antara kelompok minoritas dan mayoritas, baik secara hukum maupun
social.
d. Menuntut
kehidupan yang penuh toleransi, saling pengertian antar budaya, dan antarbangsa
dalam membina suatu dunia baru.
e. Menyumbangkan
rasa cinta terhadap sesame dan sebagai alat untuk membina dunia yang aman dan
sejahtera.[3]
Keanekaragaman dalam masyarakat
ini memiliki beberapa karakteristik . menurut Pierre L. Van den Berghe yang
dikutip oleh Kun Maryati dan Juju suryawati, karakteristik keberagaman tersebut
adalah sebagai berikut :
1.
Terjadinya
segmentasi atau pembagaian kedalam kelompok-kelompok yang sering kali memiliki
sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
2.
Memiliki
struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non
komplementer (tidak saling melengkapi).
3.
Kurang
mengembangkan konsensus (kesepakatan) diantara para anggotanya terhadap
nilai-nilai yang bersifat dasar.
4.
Secara
relative, sering kali terjadi konflik antara kelompok satu dan kelompok yang
lain.
5.
Secara
relative, integrasi sosial tumbuh diatas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan dalam
bidang ekonomi.
6.
Adanya
dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lain.[4]
C. Faktor
Penyebab Terjadinya Masyarakat Multikultural
Menurut
fritz, Multikulturalisme terjadi karena suatu masyarakat memiliki keragaman
budaya yang sangat majemuk. Dalam konteks Indonesia, corak masyarakat Indonesia
yang “Bhineka Tunggal ika” bukan lagi hanya berkutat pada keanekaragaman suku
bangsa, melainkan keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat
Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah
ideologi yang mengakui dan mengagumkan perbedaan dalam kesederajatan, baik
secara individual maupun secara kebudayaan. Multikulturalisme berkembang
didukung oleh adanya toleransi dan kesediaan untuk saling menghargai.
Dalam
model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat dilihat mempunyai sebuah
kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti
mozaik. Didalam mozaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat – masyarakat
lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang
mempunyai kebudayaan seperti sebuah mozaik tersebut.[5]
Menurut
Kun Maryati dan juju Suryawati, Faktor penyebab terjadinya masyarakat
multicultural ialah :
a. Keadaan
Geografis, kita ambil salah satu Negara yang di dalamnya terdapat masyarakat
multikulturalisme yaitu Indonesia. Kenapa masyarakat Indonesia bisa termasuk
kedalam masyarakat multikulturalisme, karena Indonesia memiliki sekitar 13.600
pulau. Kondisi geografis yang terpisah – pisah tersebut yang mengakibatkan
penduduk yang menempati pulau – pulau itu tumbuh menjadi kesatuan – kesatuan
bangsa yang terisolasi dengan yang lain. Kenudian mereka mengembangkan pola
perilaku, bahasa, dan ikatan – ikatan kebudayaan lainnya yang berbeda satu sama
lainnya.
b. Pengaruh
kebudayaan asing. Indonesia terletak pada posisi silang antara dua samudra dan
dua benua. Kondisi yang strategis ini merupakan daya tarik tersendiri bagi
bangsa – bangsa asing untuk dating, singgah, dan menetap di Indonesia.
c. Iklim
yang berbeda. Iklim yang berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang
lain di kawasan Indonesia menimbulkan kondisi alam yang berbeda. Kondisi ini
akhirnya membentuk pola perilaku dan system mata pencaharian yang berbeda –
beda. Akibatnya, terjadi keragaman regional antara daerah – daerah di Indonesia
d. Pembangunan.
Pembangunan diberbagai sector juga memberi andil bagi keragaman masyarakat
Indonesia, khususnya secara vertical. Kemajuan dan industrialisasi yang terjadi
dalam masyarakat Indonesia menghasilkan kelas – kelas social yang didasarkan
pada aspek ekonomi. Kelas – kelas social tersebut adalah kelas atas yang
terdiri dari pengusaha dan pemilik modal serta kelas menengah yang terdiri dari
eksekutif.[6]
Menurut Tilaar,
sekurang-kurangnya ada tiga hal yang medorong berkembang pesatnya pemikiran
mutikulturalisme, yaitu HAM, Globalisasi, dan Proses Demokrasi. HAM yang
dimaksud adalah penghargaan terhadap hak-hak dasar manusia. Globalisasi,
maksudnya adalah terdapat paham mengenai kesetaraan antar keragaman budaya yang
terdapat di dunia. Sedangkan Proses demokrasi adalah proses pengakuan dan
penghargaan yang besar terhadap keragaman dan perbedaan.
Ketiga hal tersebut dapat
diumpamakan sebagai segitiga sama sisi yang tidak dapat dipisah-pisahkan dalam
penerapan konsep masyarakat multikultural. HAM merujuk pada pengakuan bahwa
setiap manusia adalah sama. Siapa pun dia, dari latar belakang budaya apa pun,
kelompok sosial manapun, mayoritas maupun minoritas, semuanya memiliki hak yang
sama sebagai manusia.
D. Faktor
Penghambat Masyarakat Multikultural
1. Menganggap
budaya sendiri yang paling baik. Pengakuan terhadap budaya sendiri yang
berlebihan dapat mengarah kepada kecintaan pada diri sendiri atau kelompoknya
yang disebut narsisme budaya. Sikap ini merupakan warisan dari kolonialisme
yang menganggap bahwa bangsa jajahannya rendah dan memiliki kebudayaan
inferior. Sebaiknya, penjajah memiliki kebudayaan superior.
2. Pertentangan
antara budaya barat dan budaya timur. Dalam masyarakat dunia, ada pandangan
yang menganggap budaya barat sebagai budaya progresif atau maju yang sarat
dengan kedinamisan. Sebaliknya, budaya timur diidentikkan dengan budaya yang
dingin dan kurang dinamis. Pertentangan ini cenderung Eropa-sentris sehingga
mengakibatkan westernisasi di berbagai bidang kehidupan.
3. Plularisme
budaya dianggap sebagai sesuatu yang eksotik. Hal itu merupakan pandangan yang
banyak dianut oleh para pengamat barat terhadap pluralisme. Mereka menganggap
budaya lain di luar budayanya sebagai budaya luar. Merreka memandang budaya
lain memiliki sifat eksotik dan menarik perhatian dan bukan dihargai sebagai
budaya yang memiliki kekhasan yang berbeda dengan budayanya.
4. Pandangan
yang paternalistik. Ada banyak peneliti dan pengamat budaya dari kaum laki –
laki yang masih menganut paham paternalistic. Hal itu tentu saja menimbulkan
bias gender terhadap perempuan. Hingga saat ini, masih banyak masyarakat
memandang status perempuan sebagai sesuatu yang minor dan disubordinasikan dari
peran laki – laki.
5. Mencari
apa yang disebut indigenous culture, yaitu mencari sesuatu yang dianggap asli.
Sebagai contoh di Jakarta, ada kecenderungan menamai gedung – gedung dengan
nama bahasa sansekerta. Pada era globalisasi, pemujaan terhadap indigenous
culture merupakan sikap yang mempertentangkan istilah barat dan non barat. Pada
era tersebut, kerjasama internasional tidak mengharamkan penggunaan unsure –
unsure budaya lainyang dapat diapdosi dan disesuaikan dengan lingkungan budaya
yang berbeda.
6. Pandangan
negatif penduduk asli terhadap orang asing yang dapat berbicara mengenai
kebudayaan penduduk asli. Walaupun masyarakat yang memiliki budaya tahu banyak
tentang budayanya, bukan berarti orang lain atau orang asing tidak boleh
mempelajari budaya masyarakat tersebut. Kenyataannya, banyak orang asing yang
memiliki kemampuan lebih untuk menelaah budaya suatu masyarakat, bahkan
mempersoalkannya. Namun, dalam kenyataannya banyak orang tidak menyukai atau
tidak mengakui pandangan orang lain terhadap kebudayaannya.[7]
E. Perilaku
Primordial dalam Masyarakat Multikultural
Salah
satu realitas yang kerap ditemui pada masyarakat multicultural adalah
terjadinya primordialisme, yaitu pandangan atau paham yang menunjukkan sikap
berpegang teguh pada hal – hal yang sejak semula melekat pada diri individu,
seperti suku bangsa, ras dan agama. Primordialisme sebagai identitas sebuah
golongan atau kelompok social merupakan factor penting dalam memperkuat ikatan
golongan atau kelompok yang bersangkutan dalam menghadapi ancaman dari luar.
Namun seiring dengan itu, primordialisme juga dapat membangkitkan prasangka dan
permusuhan terhadap golongan atau kelompok social yang lain.
Primordialisme
sering terjadi karena factor – factor berikut ini :
1. Adanya
sesuatu yang dianggap istimewa oleh individu dalam suatu kelompok atau
perkumpulan sosial.
2. Adanya
suatu sikap untuk mempertahankan keutuhan suatu kelompok atau kesatuan social
dari ancaman luar.
3. Adanya
nilai- nilai yang berkaitan dengan sistem keyakinan, seperti nilai keagamaan
dan pandangan hidup.
Primordial
yang berlebigan juga akan menghasilkan sebuah pandangan subjektif yang disebut
etnosentrisme atau fanatisme suku bangsa. Etnosentrisme adalah suatu sikap
menilai kebudayaan masyarakat lain dengan menggunakan ukuran – ukuran yang
berlaku di masyarakat. Karena yang dipakai adlah ukuran – ukuran masyarakatnya,
maka orang tersebut akan selalu menganggap kebudayaannya memiliki nilai lebih
tinggi daripada kebudayaan masyarakat lain.
Etnosentrisme
dapat menghambat hubungan antar kebudayaan atau bangsa. Etnosentrisme juga
dapat menghambat proses asimilasi dan integrasi social. Bahkan, etnosentrisme
bias menjadi potensi konflik antar kelompok. Meski begitu, etnosentrisme juga
memiliki segi – segi positif, antara lain :
a. Menjaga
keutuhan dan kestabilan budaya
b. Mempertinggi
semangat patriotisme dan kesetiaan kepada bangsa
c. Memperteguh
rasa cinta terhadap kebudayaan atau bangsa.[8]
F.
MEWUJUDKAN
MASYARAKAT MULTIKULTURAL
Masyarakat multikultural di sini
adalah masyakat Indonesia yang mengakui adanya beragam keunikan budaya di
Indonesia, masyarakat yang mengakui adanya perbedaan, tetapi tidak mengekang
kelompok lain. Perbedaan atau pluralitas dianggap sebagai kekuatan yang luar
biasa untuk membangun peradaban yang lebih baik.
Ada tiga dasar yang dapat
dijadikan acuan untuk pendidikan multicultural, yaitu sebagai berikut :
1.
Pengakuan
terhadap identitas budaya lain. Terkandung didalamnya, suatu pengakuan terhadap
kekuatan yang dimiliki, sehingga akan muncul sikap jujur untuk mengakui
keunggulan yang dimiliki budaya tersebut.
2.
Adat
kebiasaan dan tradisi yang hidup dalam suatu masyarakat merupakan tali pengikat
kesatuan perilaku di dalam masyarakat.
3.
Kemajuan-kemajuan
yang diperoleh kelompok-kelompok tertentu didalam masyarakat dilihat juga
sebagai sumbangan yang besar yang bagi kelompok yang lebih luas, seperti Negara.
Dengan dasar seperti itu, akan
tercipta suatu masyarakat yang harmonis dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dalam hal ini, sosialisasi masyarakat multicultural begitu strategis
dan dibutuhkan dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang ideal dan
lestari.
Untuk mewujudkan masyarakat
multicultural yang hidup dalam suasana harmonis, diperlukan beberapa cara untuk
memecahkan masalah yang sering timbul sebagai akibat perbedaan budaya. Bales
mengemukakan tiga tahap pemecah masalah, yaitu sebagai berikut:
1.
Tahap
orientasi. Dalam tahap ini, para anggota kelompok saling bertanya dan saling
memberi informasi sehingga terhindar dari pemahaman atau pengertian yang keliru
antar pihak yang berkepentingan.
2.
Tahap
evaluasi. Tiap anggota membahas informasi dan saling bertukar pendapat. Dari
tahap ini, keterbukaan keterbukaan antar kelompok atau golongan terjadi
sehingga akan muncul berbagai alternative baru dalam menyelesaikan masalah.
3.
Tahap
kontrol. Para anggota kelompok menyarankan untuk mencari jalan keluar dalam
mencapai suatu kesimpulan akhir.
Metode tersebut merupakan salah
satu upaya awal dalam mengamati secara sistematis perilaku kelompok. Dari cara
diatas akan timbul sikap keterbukaan antar kelompok masyarakat yang menjadi
syarat utama dari hubungan yang harmonis.
G. Manfaat
Masyarakat Multikulturalisme
Manfaat
yang bisa di petik dari masyarakat multikulturalisme adalah :
1. Melalui
hubungan yang harmonis antar masyarakat, dapat digali kearifan budaya yang
dimiliki oleh setiap budaya.
2. Munculnya
rasa penghargaan terhadap budaya lain sehingga muncul sikap toleransi yang
merupakan syarat utama dari masyarakat multicultural
3. Merupakan
benteng pertahanan terhadap ancaman yang timbul dari budaya capital yang
cenderung melumpuhkan budaya yang beragam. Paham kapitalisme cenderung
diskriminatif dan cenderung mengabaikan eksistensi budaya setempat
4. Multikulturalisme
merupakan alat untuk membina dunia yang aman dan sejahtera. Dengan
multikulturalisme, bangsa – bangsa duduk bersama, saling menghargai, dan saling
membantu untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi. Masalah yang
dihadapi oleh suatu masyarakat secara langsung atau tidak langsung akan
berpengaruh terhadap masyarakat yang lain pula
5. Multikulturalisme
mengajarkan suatu pandangan bahwa kebenaran itu tidak dimonopoili oleh satu
orang atau kelompok saja, tetapi kebenaran itu ada dimana – mana, tergantung
dari sudut pandang setiap orang. Masyarakat multicultural menganggap bahwa
dengan saling mengenal dan saling menghargai budaya orang lain, dapat tercipta
kehidupan yang penuh toleransi untuk terciptanya masyarakat yang aman dan
sejahtera.[9]
[1]
Kun Maryati dan Juju Suryawati. 2008. “Seri Pendalaman Materi Sosiologi SMA dan
MA”. Jakarta : Erlangga. Hal : 40.
[2]
Fritz H.S. Danamik. 2009. “Fokus Sosiologi Siap UN SMA/MA”. Jakarta : Erlangga.
Hal : 37.
[3]
Kun Maryati dan Juju Suryawati. 2008. “Seri Pendalaman Materi Sosiologi SMA dan
MA”. Jakarta : Erlangga. Hal : 40.
[4]
Ibid. 2001. “Sosiologi untuk SMA/MA”. Jakarta : Erlangga. Hal : 37.
[5]
Fritz H.S. Danamik. 2009. “Fokus Sosiologi Siap UN SMA/MA”. Jakarta : Erlangga.
Hal : 38.
[6]
Kun Maryati dan Juju Suryawati. 2008. “Seri Pendalaman Materi Sosiologi SMA dan
MA”. Jakarta : Erlangga. Hal : 41.
[7] Kun
Maryati dan Juju Suryawati. 2008. “Seri Pendalaman Materi Sosiologi SMA dan
MA”. Jakarta : Erlangga. Hal : 40-41.
[8]
Fritz H.S. Danamik. 2009. “Fokus Sosiologi Siap UN SMA/MA”. Jakarta : Erlangga.
Hal : 39.
[9]
Kun Maryati dan Juju Suryawati. 2008. “Seri Pendalaman Materi Sosiologi SMA dan
MA”. Jakarta : Erlangga. Hal : 42.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar