Kamis, 09 Mei 2013

Modal Sosial



PERSPEKTIF MODAL SOSIAL

A.      Pengertian Perspektif Modal Sosial
Perspektif berarti pandangan. Sedangkan modal sosial Menurut Francis Fukuyama (1995) mengilustrasikan modal sosial dalam trust, believe and vertrauen artinya bahwa pentingnya kepercayaan yang mengakar dalam faktor kultural seperti etika dan moral. Trust muncul maka komunitas membagikan sekumpulan nilai-nilai moral, sebagai jalan untuk menciptakan pengharapan umum dan kejujuran. Ia juga menyatakan bahwa asosiasi dan jaringan lokal sungguh mempunyai dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi dan pembangunan lokal serta memainkan peran penting dalam manajemen lingkungan.
James S, Colement (1998) menegaskan bahwa, modal sosial sebagai alat untuk memahami aksi sosial secara teoritis yang mengkombinasikan perspektif sosiologi dan ekonomi.
Dari uraian pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa modal sosial adalah sumber daya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru.
Jadi, pengetian perspektif modal sosial adalah pandangan yang mengenai investasi yang ada dalam diri pribadi setiap orang untuk mendapatkan sumber daya baru. Perspektif ini dapat dilihat dari komunitarian, jaringan, institusional dan sinergi.

B.       Pandangan Komunitarian
Perspektif atau pandangan komunitarian cenderung melihat modal sosial sama dengan organisasi sosial biasa seperti perkumpulan, asosiasi, dan kelompok masyarakat sipil. Pandangan komunitarian memberi tekanan pada partisipasi anggota dalam berbagai kegiatan kelompok sebagai ukuran modal sosial. Semakin besar jumlah anggota suatu perkumpulan atau asosiasi semakin baik modal sosial dalam komunitas tersebut. Modal sosial yang besar akan memberi dampak positif terhadap kesejahteraan komunitas. Pandangan ini melihat bahwa modal sosial mempunyai kontribusi yang cukup penting melepaskan anggota komunitas dari kemiskinan (Woolcock 2000).
Namun perlu diperhatikan sisi negatif modal sosial. Modal sosial tidak selamanya menguntungkan tapi dapat merugikan orang yang bukan kelompok. Misalnya, modal sosial yang terbentuk di kalangan kriminal atau kelompok preman dapat dianggap sebagai modal sosial yang merugikan (perverse social capital) yang menghambat pembangunan (Woolcock 2000). Kehadiran kelompok kriminal yang berlebihan dapat membuat para investor atau pengusaha merasa tidak aman sehingga mereka mencari tempat yang lebih baik bagi investasi. Kejahatan yang terorganisir selain menyebabkan korban jiwa, dapat pula menciptakan situasi yang tidak menentu bagi pengusaha. Dengan kata lain modal sosial negatif menciptakan biaya yang lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh sehingga para investor menghindari lokasi tersebut.
Pengalaman beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa walaupun wilayah tertentu mempunyai tingkat solidaritas sosial yang tinggi dan mempunyai kelompok informal yang kuat namun tidak mendorong peningkatan kesejahteraan ekonomi. Ada beberapa komunitas gagal berkembang secara ekonomi karena tidak mempunyai hubungan dengan sumber-sumber lain di luar komunitasnya. Hal ini sering terjadi dengan negara-negara di Afrika dan Asia yang masih terisolir.
Muncul juga kasus penduduk asli terisolir dari dunia luar dan memiliki solidaritas sosial yang tinggi namun mereka tetap terbelakang secara ekonomi karena tidak mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup dan tidak mempunyai akses terhadap kekuasaan yang memungkinkan mereka mempengaruhi keputusan politik demi perbaikan nasib mereka. Hal ini dapat kita temui di beberapa wilayah Indonesia Timur, terutama Papua yang masih terisolir karena infrastruktur transportasi yang masih minim. Dalam era otonomi sering putra daerah minta diistimewakan. Jika ini berlangsung terus menerus mereka akan mengalami isolasi sosial yang menghambat perkembangan mereka sendiri.

C.      Pandangan Jaringan
Pandangan modal sosial yang kedua lebih menekankan pada asosiasi atau hubungan vertikal dan horisontal antar masyarakat dan antar kelompok-kelompok dalam komunitas dan perusahan. Pandangan ini melihat bahwa ikatan dalam kelompok yang kuat memungkinkan anggota komunitas mempunyai kesadaran tentang identitas kelompok dan tumbuh rasa kebersamaan untuk mengejar tujuan bersama. Namun pada saat yang sama identitas kelompok yang kuat dapat menumbuhkan sikap sektarian antar kelompok berdasarkan suku, agama, kelas, jender, dan status sosial ekonomi. Hubungan sosial yang menekankan pada rasa kebersamaan dalam kelompok disebut sebagai bonding social capital dan hubungan sosial yang melewati batas kelompok disebut sebagai bridging social capital (Woolcock 2000).

D.      Pandangan Institusional
Dalam pandangan institusional terdapat dua institusi, yaitu institusi nasional dan institusi lokal.
1.    Institusi Nasional.
            Pandangan institusi nasional melihat kekuatan jaringan suatu komunitas terletak pada lingkungan politik, hukum dan kelembagaan negara (Woolcock 2000). Pandangan komuniterian dan pandangan jaringan memperlakukan modal sosial sebagai variabel independen yang dapat berdampak positif maupun negatif terhadap masyarakat. Kebalikan dari dua pandangan terdahulu, pandangan institusional memperlakukan modal sosial sebagai variabel dependen. Para penganut pandangan ini percaya bahwa kapasitas bertindak suatu kelompok sosial untuk mencapai tujuan tertentu tergantung pada kualitas institusi formal di wilayah masing-masing. Mereka juga percaya bahwa kinerja suatu negara atau perusahan sangat tergantung pada faktor internal seperti, koherensi, kredibilitas, dan kompetensi dan keterbukaan mereka terhadap masyarakat sipil. Pandangan ini memungkinkan pemerintah berperan dalam mendorong terbentuknya jaringan. Kebijakan kelembagaan dapat memperkuat atau melemahkan jaringan dalam masyarakat.
Pengalaman beberapa wilayah menunjukkan hubungan yang erat antara peran pemerintah mendorong modal sosial yang kuat dalam masyarakat. Desentralisasi di Brazil, misalnya, menunjukkan bahwa pemerintahan yang bersih (good government) ikut memperlancar semua program sosial ekonomi masyarakat lokal sehingga berjalan dengan baik. Selain itu penelitian lain mendapati adanya keterkaitan antara modal sosial dengan kelembagaan politik, legal,dan ekonomi.
Penelitian yang dilakukan Knack mengungkapkan bahwa kepercayaan sesama anggota komunitas, aturan hukum yang jelas, kebebasan masyarakat sipil yang luas, dan kualitas birokrasi yang baik berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Modal sosial dalam masyarakat ikut berperan mengurangi kemiskinan dan memperbaiki tingkat pemerataan pendapatan dalam masyarakat.
Sebaliknya modal sosial yang rendah dapat mendorong masyarakat mundur secara ekonomi. Beberapa penelitian menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi rendah terjadi pada masyarakat yang mengalami fragmentasi etnis yang tinggi dan hak politik yang rendah (Woolcock 2000). Dalam kondisi seperti ini inisiatif anggota masyarakat menurun karena ketakutan terhadap sikap anarki kelompok lain. Fragmentasi sosial seperti ini akan berkurang jika bridging social capital cukup tinggi. Lebih lanjut pandangan kelembagaan melihat kelemahan di negara  berkembang seperti korupsi, birokrasi yang lamban, pembatasan kebebasan, kesenjangan ekonomi, dan kegagalan penjaminan hak milik menghambat perbaikan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi kebebasan dan hak politik harus mendapat jaminan dari pemerintah. Pemerintah harus menjamin agar mereka yang terlibat dalam proses pembangunan tidak diteror oleh mereka yang lebih kuat atau oleh negara itu sendiri.
2.    Institusi Lokal
Institusi lokal dalam komunitas harus dilihat sebagai suatu sistem yang saling silang menyilang (cross-cutting affiliation) dan institusi lokal telah menyediakan jaring pengaman sosial (sosial safety net) ketika komunitas lokal berada dalam situasi krisis. Kehadiran institusi lokal bukan atas kepentingan pribadi/individu tetapi atas kepentingan bersama, sehingga institusi lokal lama kelamaan menduduki pada posisi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Rasa saling percaya warga komunitas lokal yang digalang dan diasah melalui institusi ini semakin hari semakin didambakan sebagai modal sosial.
Institusi lokal ternyata mampu menjadi bingkai etika komunitas lokal (Purwo Santoso, 2002: 6). Institusi lokal pada dasarnya adalah regulasi perilaku kolektif, di mana sandarannya adalah etika sosial, sehingga institusi lokal mampu menghasilkan kemampuan mengatur diri sendiri dari kacamata normatif.
Kita pahami bahwa institusi lokal merupakan salah satu modal sosial sehingga institusi lokal di mana saja keberadaannya tetap mempunyai nilai positif bagi komunitas yang bersangkutan. Ternyata institusi lokal dijadikan dasar berpijak masyarakat lokal oleh karenanya modal sosial dapat berkembang dan mengalami erosi dan melemah serta menguatnya modal sosial pada masyarakat dapat dipotret melalui institusi lokal.
Potret Positif modal sosial dapat digambarkan dalam formulasi kepercayaan (trust) yang meliputi kohesi sosial, empati, transparansi, militant yang kesemuanya itu akan berdampak pada memunculkan kontrol sosial baru, revitalisasi modal sosial baru, perlu membangun kerjasama dengan pihak luar, demokrasi dan desentralisasi. Norma harus diwujudkan dalam bentuk kesetaraan dan kemitraan sehingga tidak muncul perbedaan perlakuan antarwarga, dalam alokasi ini akan muncul kendala kebudayaan luar dan primordialisme sehingga perlu dipersiapkan jawaban kedepan guna membenteng tantangan yang akan muncul.
Potret Negatif modal sosial dapat digambarkan dalam formulasi melemahnya modal sosial sehingga modal sosial mengalami erosi dalam bentuk: interaksi sosial, ditandai dengan pelanggaran norma, krisis kepemimpinan dan kerenggangan hubungan sosial. Kondisi ini disebabkan oleh lemahnya kontrol sosial, sentimen kelompok, meningkatnya semangat individualisme dan merebahnya nilai budaya material. Bila kondisi ini dibiarkan maka akan berakibat pada pembangkangan, konflik dan perilaku menyimpang. Komunitas, muncul sikap baru dari komunitas dalam bentuk apatis, pragmatis, pengingkaran dan budaya potong kompas (menerobos). Sikap ini muncul karena disebabkan oleh tidak ada kepercayaan, egoisme, menghalalkan segala cara dan pelayanan birokrasi yang rendah. Jika kondisi ini tidak segera diantisipasi, maka yang muncul adalah stagnan (kemandegan), menurunkan partisipasi, pelanggaran nilai sosial dan dimungkinkan terjadi KKN.
Apabila erosi modal sosial dalam interaksi sosial dan komunitas benar-benar terjadi, maka institusi lokal akan kehilangan sosial trust yang ditandai dengan rasa kecurigaan, rasa tidak aman, menurunnya rasa kebersamaan, pembangkangan, dan akan menyebabkan rendahnya keterbukaan sehingga intensitas komunikasi rendah, tingginya manipulasi publik dan dampak yang paling parah adalah disintegrasi sosial.

E.       Pandangan Sinergi
Pandangan sinergi adalah gabungan dari pandangan jaringan dan pandangan institusional. Pandangan ini mencoba melihat aliansi dan hubungan yang terjadi antara birokrasi negara dan berbagai aktor dalam masyarakat sipil (Woolcock 2000). Pandangan sinergi banyak dipratekan di negara berkembang. Aliran atau pandangan sinergi melihat bahwa negara dan masyarakat dapat bekerja sama sehingga sama sama mendapat untung dari kerjasama tersebut. Memang masih ada persepsi bahwa negara bisa berperan dengan kerjasama yang minim dengan masyarakat. Pandangan ini lebih sering kita temui di negara totaliter. Pemahaman yang benar adalah negara, dunia usaha dan komunitas saling melengkapi dan dapat membangun kerjasama sinergis baik dalam sektor yang sama maupun sektor yang berbeda. Tidak semua kerjasama berakibat positif oleh karena itu jangan mengabaikan dampak negatif dari kerja sama tersebut.
Memang peran negara sangat penting mengkoordinasi berbagai sektor dalam masyarakat yang berbeda untuk mencapai hasil pembangunan yang maksimal. Hal ini memang demikian karena negara selain berperan menyediakan barang publik dan mempunyai kekuasaan memaksa aturan formal, juga berperan sebagai aktor yang memfasilitasi aliansi antar kelompok sosial dalam wilayah bersangkutan.
Negara dapat menjadi fasilitator yang baik karena tidak mengenal batas kelas, etnisitas, ras, jender, politik dan agama. Idealnya, negara dapat berdiri di atas kepentingan semua pihak tanpa membedakan kelompok. Walaupun demikian kita tidak bisa menutup mata bahwa pada saat tertentu negara dipengaruhi oleh kelompok tertentu demi kepentingan sesaat. Memang negara berperan menjaga sinergi antar kelompok sosial namun sebaliknya komunitas dan dunia usaha dapat menciptakan kondisi bagi terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance) (Woolcock 2000).
Ada juga sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil yang didasarkan pada prinsip saling melengkapi (complementarity) dan prinsip mengakar (embeddedness) (Evans 1996). Prinsip saling melengkapi yang dimaksud adalah hubungan yang saling mendukung antara aktor publik dan aktor swasta. Hubungan seperti ini dicantumkan dalam aturan legal dalam rangka melindungi hak asosiasi, misalnya, Himpunan Pengusaha lokal. Perlindungan hak memungkinkan terjadinya hubungan antara asosiasi komunitas dengan kelompok bisnis. Prinsip  mengakar yang dimaksud mencakup sifat dan bentuk hubungan yang mempertautkan masyarakat dengan aparat publik. Misalnya, dalam hal irigasi pemerintah dapat mengangkat orang lokal menjadi pegawai yang mengawasi irigasi di daerahnya daripada menempatkan pegawai dari luar daerah yang tidak berpotensi memicu konflik. Pegawai lokal secara sosial sudah mengakar sehingga memudahkan komunikasi dengan sesama anggota komunitas.


Kesimpulan
Bagian ini mengetengahkan 4 pandangan atau perspektif modal sosial yaitu: pandangan komunitarian, pandangan jaringan, pandangan institusi dan pandangan kelembagaan. Pandangan komunitarian dalam pembahasan cenderung melihat modal sosial yang sama status dengan organisasi sosial biasa seperti perkumpulan, asosiasi, dan kelompok masyarakat sipil. Pandangan jaringan lebih memberi perhatian pada asosiasi atau hubungan vertikal dan horisontal antar masyarakat dan antar kelompok dalam komunitas dan perusahaan. Pandangan institusi melihat kekuatan jaringan suatu komunitas terletak pada lingkungan politik, hukum dan kelembagaan. Pandangan ini mencoba melihat aliansi dan hubungan yang terjadi antara birokrasi negara dan berbagai aktor dalam masyarakat sipil.

Minggu, 05 Mei 2013

EVALUASI PROSES DAN HASIL BELAJAR

A.  Pengertian Evaluasi Proses dan Hasil Belajar Atau Pengajaran
Wiersma dan jurs membedakan evaluasi, seperti pengukuran dan testing. Keduanya berpendapat bahwa evaluasi adalah suatu proses yang mencakup pungukuran dan mungkin juga berisi pengambilan keputusan tentang nilai. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Arikunto yang menyatakan bahwa evaluasi merupakan kegiatan mengukur dan menilai. Kedua pendapat di atas menanyakan secara implisit menyatakan bahwa evaluasi memiliki cakupan yang lebih luas dari pada pengukuran dan testing.[1]
Evaluasi proses adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan proses belajar atau pengajaran yang telah dilaksanakan. Dari sedikit uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu proses belajar atau pengajaran perlu dilakukan evaluasi supaya mengetahui tingkat kecapaian tujuan yang telah direncanakan sehingga dalam proses pengajaran ini menghasilkan peserta didik yang mempunyai aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang tinggi serta berdampak pula terhadap kemajuan bangsa.[2]
Evaluasi Penilaian hasil belajar, Penilaian hasil belajar adalah kegiatan atau cara yang ditujukan untuk mengetahui tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran dan juga proses pembelajaran yang telah dilakukan. Pada tahap ini seorang guru dituntut memiliki kemampuan dalam menentukan pendekatan dan cara-cara evaluasi, penyu­sunan alat-alat evaluasi, pengolahan, dan penggunaan hasil evaluasi.
Pembelajaran merupakan suatu sistem yang terdiri atas berbagai komponen yang saling berinteraksi dalam usaha mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Setiap proses pembelajaran berlangsung, penting bagi seorang guru maupun peserta didik untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan tersebut. Hal ini hanya dapat diketahui jika guru melakukan evaluasi, baik evaluasi terhadap proses maupun produk pembelajaran.
Evaluasi memiliki arti lebih luas daripada penilaian. Dengan kata lain di dalam evaluasi tercakup di dalamnya penilaian. Siapapun yang melakukan tugas mengajar, perlu mengetahui akibat dari pekerjaan-nya. Pendidik harus mengetahui sejauhmana peserta didik telah menyerap dan menguasai materi yang telah diajarkan. Sebaliknya, peserta didik juga membutuhkan informasi tentang hasil pekerjaannya. Hal ini hanya dapat diketahui jika seorang pendidik (guru) melakukan evaluasi. Sebelum melakukan evaluasi, maka guru harus melakukan penilaian yang didahului dengan pengukuran. Pengukuran hasil belajar adalah cara pengumpulan informasi yang hasilnya dapat dinyatakan dalam bentuk angka yang disebut skor. Penilaian hasil belajar adalah cara menginterpretasikan skor yang diperoleh dari pengukuran dengan mengubahnya menjadi nilai dengan prosedur tertentu dan menggunakannya untuk mengambil keputusan.
Sebenarnya penilaian hasil belajar sudah mencakup pengukuran hasil belajar, sehingga instrumen atau  alat pengukuran sering disebut sebagai instrumen atau alat penilaian. Ada sebagian ahli pendidikan menyamakan arti evaluasi dengan penilaian, tetapi sesungguhnya evaluasi memiliki arti yang lebih luas, yaitu penggunaan hasil penilaian untuk mengambil keputusan, seperti untuk menentukan kelulusan, penempatan, penjurusan, dan perbaikan program.
Evaluasi hasil belajar merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan.
Jadi, evaluasi mencakup penilaian sekaligus pengukuran, namun alat evaluasi sering disebut juga alat penilaian. Pendekatan atau cara yang dapat digunakan untuk melakukan evaluasi atau  penilaian hasil belajar adalah melalui Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian Acuan Patokan (PAP).
PAN adalah cara penilaian yang tidak selalu tergantung pada jumlah soal yang diberikan atau penilaian dimasudkan untuk mengetahui kedudukan hasil belajar yang dicapai berdasarkan norma kelas. Siswa yang paling besar skor yang didapat di kelasnya, adalah siswa yang memiliki kedudukan terting­gi di kelasnya.
Sedangkan PAP adalah cara penilaian, dimana nilai yang diperoleh sis­wa tergantung pada seberapa jauh tujuan yang tercermin dalam soal-soal tes yang dapat dikuasai siswa. Nilai tertinggi adalah nilai sebenarnya berdasar­kan jumlah soal tes yang dijawab dengan benar oleh siswa. Dalam PAP ada passing grade atau batas lulus, apakah siswa dapat dikatakan lulus atau tidak berdasarkan batas lulus yang telah ditetapkan. Pendekatan PAN dan PAP dapat dijadikan acuan untuk memberikan pe­nilaian dan memperbaiki sistem pembelajaran. Kemampuan lainnya yang perlu dikuasai guru pada kegiatan evaluasi atau pe­nilaian hasil belajar adalah menyusun alat evaluasi. Alat evaluasi meliputi: tes tertulis, tes lisan, dan tes perbuatan.
Seorang guru dapat menentukan alat tes tersebut sesuai dengan materi yang disampaikan. Bentuk tes tertulis yang banyak dipergunakan guru adalah ragam benar/ salah, pilihan ganda, menjodohkan, melengkapi, dan jawaban singkat. Tes lisan adalah soal tes yang diajukan dalam bentuk pertanyaan lisan dan langsung dijawab oleh siswa secara lisan. Tes ini umumya ditujukan un­tuk mengulang atau mengetahui pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang telah disampaikan sebelumnya. Tes perbuatan adalah tes yang dilakukan guru kepada siswa, dalam hal ini siswa diminta melakukan atau memperagakannya.

B.  Kualitas dan Ciri-ciri Proses Evaluasi yang Baik
1.         Validitas
Validitas merupakan kualitas yang menunjukkan hubungan antara suatu pengukuran (diagnosis) dengan arti atau tujuan kriteria belajar atau tingkah laku.
2.         Reliabilitas (Keandalan)
Reliabilitas merupakan kualitas yang menunjukkkan kemantapan ekuivalensi atau stabilitas suatu pengukuran yang dilakukan.
3.         Obyektivitas
Obyektivitas adalah kualitas yang menunjukkkan identitas atau kesamaan dari skor-skor atau diagnosis-diagnosis yang diperoleh dari data yang sama dan dari penskor-penskor kompeten yang sama.

C.  Model model penilain hasil belajar
Ada dua metode yang dapat dipergunakan untuk mengetahui kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh murid-murid dalam proses belajar yang mereka lakukan, yaitu metode tes dan metode observasi.
1.      Tes
Tes ialah suatu cara untuk mengadakan penilaian yang berbentuk suatu tugas ata serangkaian tugas yang harus dikerjakan oleh anak atau sekelompok anak sehingga menghasilkan suatu nilai tentang tingkahlaku atau prestasi.
2.      Observasi
Observasi ialah suatu cara untuk mengadakan penilaian dengan cara pengamatan secara langsung dan sistematis.[3]
D.  Proses Evaluasi
1.         Proses Evaluasi Tes
Tes adalah suatu alat atau prosedur yang disistimatis dan objektif untuk memperoleh data atau keterangan yang diinginkan tentang seseorang dengan cara yang tepat dan tepat.
Proses tes adalah suatu proses dalam evaluasi yang digunakan untuk mengetahui hasil belajar murid dengan mempergunakan alat tes.
Menurut Hendyat Soetopo jenis tes, terdiri dari:
a.       Dilihat dari sifatnya:
1)   Tes verbal, yaitu tes yang menggunakan bahasa sebagai alat untuk melaksanakan tes.
2)   Tes non verbal, yaitu tes yang tidak menggunakan bahasa sebagai alat untuk melaksanakan tes, tetapi menggunakan gambar, memberikan tugas.
b.      Dilihat dari tujuannya:
1)   Tes bakat yaitu tes yang digunakan untuk menyelidiki bakat seseorang
2)   Tes intelegensi yaitu tes yang dilakukan untuk mengetahui kecerdasan seseorang.
3)   Tes prestasi belajar yaitu tes yang dilakukan untuk mengegtahui prestasi seorang murid dari mata pelajaran yang diberikan
4)   Tes diagnosik yaitu tes yang digunakan untuk menggali kelemahan atau problem yang dihadapi murid
5)   Tes sikap yaitu tes yang dilakukan untuk mengetahui sikap seseorang murid terhadap sesuatu
6)   Tes minat yaitu tes yang digunakan untuk mengetahui minat murid terhadap hal-hal yang disukai.
c.       Dilihat dari pembuatannya:
1)   Tes standar yaitu tes yang dibakukan mengandung prosedur yang seragam untuk menentukan nilai dan administrasinya.
2)   Tes buatan guru yaitu tes yang dibuat oleh guru untuk kepentingan prestasi belajar.
d.      Dilihat dari bentuk soalnya:
1)                Tes uarian (essay) yaitu tes yang bentuk soalnya sedemikian rupa sehingga memberi kesempatan kepada murid untuk menjawab secara bebas dengan uraian.
2)                Tes obyektif yaitu tes yang bentuk soalnya hanya memerlukan jawaban singkat sehingga tidak memungkinkan murid menjawab secara terurai.
e.       Ditinjau dari objeknya:
1)   Tes individual yaitu suatu tes yang dalam pelaksanaannya memerlukan waktu yang cukup panjang.
2)   Tes kelompok yaitu tes yang dilakukan terhadap beberapa murid dalam waktu yang sama.

2.         Proses Evaluasi Non Tes
Proses  non tes adalah alat penilaian yang dilakukan tanpa melalui tes. Tes ini digunakan untuk menilai karakteristik lain dari murid. Adapun proses non tes dapat dilakukan dengan cara:
a.       Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan secara sistematis dan sengaja melalui proses pengamatan dan pendekatan terhadap gejala-gejala yang diselidiki.
Fungsi observasi untuk memperoleh gambaran dan pengetahuan serta pemahaman mengenai diri murid, serta untuk menunjang dan melengkapi bahan-bahan yang diperoleh melalui interview.
Jenis observasi antara lain:
1)   Observasi partisipasi, umumnya dipergunakan untuk penelitian yang bersifat eksplorasi.
2)   Observasi sistematik, sebelum mengadakan observasi terlebih dahulu dibuat kerangka tentang berbagai faktor dan ciri-ciri yang akan diobservasi.
3)   Observasi eksperimental, adalah suatu observasi yang membuat variasi situasi untuk menimbulkan tingkahlaku tertentu dan situasi tersebut dibuat sengaja.
b.      Interview (wawancara)
Wawancara adalah alat pengumpulan data yang dilakukan secara bertatap muka bertujuan untuk menjaring data dan informasi murid dengan jalan bertanya secara lisan dan langsung kepada sumber data (murid) ataupun kepada orang lain.
Jenis wawancara, yaitu:
1)   Wawancara jabatan, ialah wawancara yang ditujukan untuk mencocokkan seorang calon pegawai dengan pekerjaan yang tepat
2)   Wawancara informatif, ialah wawancara yang ditujukan untuk memperoleh data atau memberikan informasi
3)   Wawasan disipliner, ialah wawancara yang ditujukan untuk menuntut perubahan tingkahlaku seseorang kearah kegiatan yang diinginkan pewawancara
4)   Wawancara penyuluhan, ialah wawancara yang bertujuan untuk memberikan bantuan kepada individu dalam memecahkan masalah
c.       Problem Checklist (Daftar Cek Masalah)
Daftar cek masalah adalah seperangkat pertanyaan yang menggambarkan jenis-jenis masalah yang mungkin dihadapi  murid.
Alasan menggunakan daftar cek masalah yaitu, efisiensi karena dengan menggunakan daftar cek masalah data yang diperoleh akan lebih banyak dalam waktu yang relative singkat. Selain itu juga, menggunakan daftar cek masalah lebih intensif karena data yang diperoleh lebih diteliti, mendalam dan luas. Serta daftar cek masalah valid dan reliable, maka secara langsung individu yang bersangkutan akan dapat mencek yang ada pada dirinya.
d.       Angket (kuesioner)
Angket (kuesioner) adalah seperangkat pertanyaan yang harus dijawab oleh responden yang digunakan untuk mengubah berbagai keterangan yang langsung diberikan oleh responden. Angket sebagai alat pengumpul data mempunyai cirri khas yang membedakan dengan alat pengumpul data yang lainnya, yaitu terletak pada pengumpulan data yang melalui daftar pertanyaan tertulis yang disusun dan disebarkan untuk mendapatkan informasi atau keterangan dari sumber data yang berupa orang.
e.       Sosiometri-sosiogram
Sosiometri adalah suatu alat yang dipergunakan untuk mengukur hubungan social di dalam kelompoknya. Sosiometri digunakan untuk mengumpulkan data tentang dinamika kelompok, untuk mengetahui popularitas seseorang dalam kelompoknya, serta memiliki kesukaran seseorang terhadap teman-temannya dalam kelompok baik dalam kegiatan belajar, bermain, bekerja dengan kegiatan-kegiatan kelompok lainnya.
Kegunaan sosiometri yaitu memperbaiki hubungan insane diantara anggota-anggota kelompok, menentukan kelompok kerja tertentu, meneliti kemampuan memimpin seseorang dalam kelompok, untuk mengatur tempat duduk dalam kelas, untuk mengetahui perpecahan kelompok dalam masyarakat.[4]
E.     Penyusunan Tes Hasil Belajar
Dalam pengukuran hasil belajar kita memerlukan alat-alat yang digunakan dalam pengukuran seperti tes. Jika tes yang akan digunakan sudah tersedia dan cukup memenuhi  syarat maka kita tinggal memilih tes yang telah tersedia. Tetapi apabila tes tersebut belum ada maka kita harus menyusun sendiri tes yang akan dipergunakan. Dalam penyusunan tes hasil belajar ada beberapa langkah yang harus ditempuh, seperti:
1.      Menyusun Layout
Suatu tes hasil belajar baru dapat dikatakan tes yang baik apabila materi yang tercantum dalam item-item tes tersebut merupakan pilihan yang cukup mewakili terhadap materi pelajaran yang diungkapkan dalam item-item suatu hasil belajar, hanya menyangkut sebagian kecil dari keseluruhan materi yang dikuasai oleh murid-murid.
Untuk mendapatkan suatu tes hasil belajar yang cukup mewakili terhadap bahan yang ditetapkan dapat dilakukan dengan mengadakan analisa rasional. Artinya kita mengadakan analisa berdasarkan fikiran-fikiran yang logis, bahan-bahan apa yang perlu kita kemukakan dalam suatu tes, sehingga tes yang kita susun tersebut benar-benar merupakan pilihan yang mewakili terhadap ketentuan yang terdapat pada sumber-sumber tertentu seperti: tujuan pengajaran, rencana pengajaran, buku-buku pedoman, dan ketentuan-ketentuan lainnya.
 Dalam layout ada hal  penting yang perlu dicantumkan, yaitu:
a.       Ruang lingkup dari pengetahuan yang akan diukur sesuai dengan rencana pelajaran yang telah ditetapkan dalam kurikulum
b.      Proporsi jumlah item dari pada tiap-tiap sub materi. Proporsi jumlah item untuk tiap-tiap sub materi hendaknya sesuai dengan proporsi dari pada luas masing-masing sub materi.
c.       Jenis pengetahuan atau aspek proses mental yang hendak diukur, seperti: aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
d.      Bentuk tipe tes yang akan dipergunakan lebih dari satu bentuk.

2.      Menulis Soal
Setelah kita menyusun layout, maka langkah selanjutnya adalah menuliskan pertanyaan-pertanyaan. Untuk menuliskan soal-soal yang baik harus berpedoman kepada sasaran-sasaran atau tujuan pengajaran dalam penyusunan item untuk tiap-tiap tipe tes. Banyaknya item yang ditulis hendaknya lebih banyak daripada yang diperlukan, sehingga dapat memilih item yang lebih baik.
3.      Menata Soal
Setelah soal-soal yang diperlukan untuk suatu tindakan evaluasi mencukupi maka langkah selanjutnya ialah mengatur soal-soal tersebut. Dalam pengaturan ini kita kelompokkan soal-soal itu menurut bentuknya, seperti pilihan ganda, essay, dan menjodohkan.
Disamping pengaturan menurut bentuknya, soal itu hendaknya diatur pula menurut taraf kesukarannya dari mulai taraf ringan, sedang, sampai taraf berat.
4.      Menetapkan Skor
Langkah selanjutnya yaitu, menetapkan besarnya skor yang diberikan untuk setiap item. Artinya kita tetap beberapa skor yang akan diberikan untuk setiap jawaban murid. Cara menskor yang banyak dilakukan adalah memberikan skor satu untuk setiap jawaban yang betul.
Tetapi kerap kali diperlukan cara pemberian skor lain pula, misalnya untuk menhindari terjadinya pemberian skor yang terlampau rendah atau terlampau tinggi untuk pertanyaan-pertanyaan tertentu. Dalam hal ini dipergunakan skor yang sebelumnya telah ditetapkan besarnya, yaitu yang mengenai prinsip-prinsip pokok disediakan skor yang lebih besar daripada pertanyaan-pertanyaan yang kurang penting.
5.      Reproduksi Tes
Setelah semua langkah-langkah tersebut diatas dilampaui, maka langkah terakhir adalah memproduksi tes. Reproduksi ini dapat dalam bentuk ketikan atau cetakan. Jumlah reproduksi kita sesuaikan dengan jumlah kebutuhan.
6.      Analisa empiris terhadap suatu tes hasil belajar 
Apabila suatu tes telah selesai kita laksanakan maka hasil-hasil yang ditimbulkan oleh tes tadi kita adakan analisa. Analisa yang kita lakukan setelah suatu tes selesai dilaksanakan adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
a.       Bagaimanakah kualitas daripada item-item yang kita gunakan?
b.      Apakah item-item tersebut sudah cukup baik atau belum?
c.       Kalau belum dimana letak kelemahannya?
d.      Apakah item tersebut masih bisa direvisi atau harus dihapus?
Analisa semacam ini disebut analisa empiris. Dengan analisa empiris ini dapat kita ketahui apakah tes yang kita susun itu sudah merupakan tes yang baik atau belum? Dengan analisa empiris ini dapat diketahui item-item mana yang perlu diubah atau diperbaiki bahkan dihapus, dan item-item mana yang baik dipergunakan untuk selanjutnya.
umumnya suatu tes hasil belajar baaru merupakan tes yang baik, setelah diadakan revisi beberapa kali, berdasarkan hasil-hasil analisa empiris. Oleh karena itu, analisa empiris perlu dialakukan melaui analisa empiris ini akan diketahui kelemahan-kelemahan dari suatu item yang kita gunakan yang selanjutnya kelemahan-kelemahan tersebut diperbaiki.
Dengan analisa empiris yang berulang kali kita lakukan akan mendapatkan item-item tes yang cukup baik. Item-item yang cukup baik ini dapat kita simpan dalam bank soal dan dapat digunakan untuk keperluan evaluasi selanjutnya.[5]

F.     Evaluasi Hasil Belajar
Evaluasi hasil belajar dapat dilakukan dengan penilaian kelas, tes kemampuan dasar, penilaian akhir satuan pendidikan dan sertifikasi, bench marking dan penilaian program.
1.       Penilaian Kelas
Penilaian kelas dilakukan dengan ulangan harian, ulangan umum dan ujian akhir. Ulangan Harian dilakukan setiap selesai proses pembelajaran dalam satuan bahasan atau kompetensi  tertentu. Ulangan harian ini terdiri dari seperangkat soal yang harus dijawab para peserta didik, dan tugas – tugas terstruktur yang berkaitan dengan konsep yang sedang di bahas. Ulangan harian minimal dilakukan tiga kali dalam satu semester. Ulangan harian ini, terutama ditujukan untuk memperbaiki modul dan program pembelajaran, tetapi tidak menutup kemungkinan digunakan untuk tujuan – tujuan lain, misalnya sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan nilai bagi para peserta didik.
Ulangan umum dilaksanakan setiap akhir semester, dengan bahan yang diujikan sebagai berikut :
a.       Ulangan umum semester pertama soalnya diambil dari materi semester pertama.
b.      Ulangan umum semester kedua soalnya merupakan gabungan dari materi semester pertama dan semester kedua, dengan penekanan pada materi semester kedua.
Ulangan umum dilaksanakan secara bersama untuk kelas – kelas paralel, dan pada umumnya dilakukan ulangan umum bersama baik tingkat rayon, kecamatan, kodya / kabupaten maupun provinsi. Hal ini, dilakukan terutama dimaksudkan untuk meningkatkan pemerataan mutu pendidikan dan untuk menjaga keakuratan soal – soal yang diujikan. Di samping untuk menghemat tenaga dan biaya, pengembangan soal bisa dilakukan oleh bang soal, dan bisa dipergunakan secara berulang – ulang selama soal tersebut masih layak dipergunakan.
Ujian akhir dilakukan pada akhir program pendidikan. Bahan – bahan yang diujikan meliputi seluruh materi modul yang telah diberikan, dengan penekanan pada bahan – bahan yang diberikan pada kelas – kelas tinggi. Hasil evaluasi akhir ini terutama digunakan untuk menentukan kelulusan bagi setiap peserta didik dan layak tidaknya untuk melanjutkan pendidikan pada tingkat diatasnya.
Penilaian kelas dilakukan oleh guru untuk mengetahui kemajuan dan hasil belajar peserta didik, mendiagnosa kesulitan belajar, memberikan umpan balik untuk perbaikan proses pembelajaran dan penentuan kenaikan kelas.
2.      Tes Kemampuan Dasar
Tes Kemampuan Dasar dilakukan untuk mengetahui kemapuan membaca, menulis dan berhitung yang di perlukan dalam rangka memperbaiki program pembelajaran ( program remedial ). Tes kemampuan dasar dilakukan pada setiap tahun.
3.       Penilaian Akhir Satuan Pendidikan dan Sertifikasi
Pada setiap akhir semester dan tahun pelajaran diselenggarakan kegiatan penilaian guna mendapatkan gambaran secara utuh dan menyeluruh mengenai ketuntasan belajar peserta didik dalam satuan waktu tertentu. Untuk keperluan sertifikasi, kinerja dan hasil belajar yang dicantumkan dalam Surat Tanda Tamat Belajar atau Ijazah tidak semata – mata didasarkan atas hasil penilaian pada akhir jenjang sekolah.
4.       Benchmarking
Benchmarking merupakan suatu standar untuk mengukur kinerja yang sedang berjalan, proses dan hasil untuk mencapai suatu keunggulan yang memuaskan. Ukuran keunggulan dapat ditentukan ditingkat sekolah, daerah atau nasional. Penilaian dilaksanakan secara berkesinambungan sehingga peserta didik dapat mencapai satuan tahap keunggulan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan usaha dan keuletannya.
Untuk dapat memperoleh data dan informasi tentang pencapaian benchmarking tertentu dapat diadakan penilaian secara nasional yang dilaksanakan pada satuan pendidikan. Hasil penilaian tersebut dapat dipakai untuk memberikan peringkat kelas dan tidak untuk memberikan nilai akhir peserta didik. Hal ini, dimaksudkan sebagai salah satu dasar untuk pembinaan guru dan kinerja sekolah.
5.      Penilaian Program
Penilaian program dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Dinas Pendidikan secara kontinyu dan berkesinambungan. Penilaian program dilakukan untuk mengetahui kesesuaian kurikulum dengan dasar, fungsi dan tujuan pendidikan nasional serta kesesuaiannya dengan tuntutan perkembangan masyarakat dan kemajuan zaman.[6] 


Kesimpulan
Evaluasi proses adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan proses belajar atau pengajaran yang telah dilaksanakan. Evaluasi Penilaian hasil belajar, Penilaian hasil belajar adalah kegiatan atau cara yang ditujukan untuk mengetahui tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran dan juga proses pembelajaran yang telah dilakukan. Pada tahap ini seorang guru dituntut memiliki kemampuan dalam menentukan pendekatan dan cara-cara evaluasi, penyu­sunan alat-alat evaluasi, pengolahan, dan penggunaan hasil evaluasi.
Ciri proses evaluasi yang baik yaitu melalui cara validitas, realibilitas, dan objektivitas. Ada dua metode yang dapat dipergunakan untuk mengetahui kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh murid-murid dalam proses belajar yang mereka lakukan, yaitu metode tes dan metode observasi. Model-model penilayan hasil belajar, yaitu medel tes dan observasi. Sedangkan proses evaluasi tes dilihat dari sifatnya, tujuan pembuatannya, dari bentuk soalnya, ditinjau dari objeknya.
Penyusunah tes hasil belajar ada beberapa langkah yang harus ditempuh, yaitu : penyusunan layout, menulis soal, menata soal, menetapkan soal, reproduksi tes dan empiris terhadap suatu tes hasil belajar. Evaluasi hasil belajar dapat dilakukan dengan penilaian kelas, tes kemampuan dasar, penilaian akhir satuan pendidikan dan sertifikasi, bench marking dan penilaian program.













[1] Dr. Anurrahman. 2010. Belajaran dan Pembelajaran. Cet.4. Bandung: Alfabeta .204-205
[2] Suharsimi Arikunto. 2002. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan cet.3. Jakarta: Bumi Aksara. Hal: 290.
[3] Wayan Nurkancana dan Sunartana. 1986. Evaluasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Hal: 25-46.
[4] Mulyadi. 2010. Evaluasi Pendidikan. Malang: Maliki Press. Hal: 55-61.
[5] Ibid. Hal: 51-57.
[6] Mulyasa. 2011. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Hal: 258-261.