Kamis, 21 Maret 2013

Sosiologi



MASYARAKAT MULTIKULTURAL
A.    Pengertian Masyarakat Multikultural
Menurut Kun Maryati dan Juju suryawati dalam bukunya “Seri Pendalaman Materi Sosiologi SMA dan MA” (2008) menjelaskan bahwa masyarakat multikultural merupakan bentukan dari masyarakat modern yang anggotanya terdiri atas berbagai golongan, suku, etnis (suku bangsa), ras, agama, dan budaya. Mereka hidup bersama dalam suatu wilayah local maupun nasional, dan bahkan mereka juga berhubungan dengan masyarakat internasional, baik secara langsung maupun tidak langsung.[1] 
B.     Ciri – Ciri Masyarakat Multikultural
Firtz H.S. Danamik dalam bukunya yang berjudul “Fokus Sosiologi Siap UN SMA/MA” (2009) berpendapat bahwa masyarakat multicultural bercirikan sebagai berikut :
1.      Sarat kemajemukan
2.      Konflik yang muncul sebagai dampak dari kemajemukan, transfortasi, dan reformasi social dapat dikelok secara cerdas
3.      Berpegang teguh pada nilai toleransi, yakni sikap sabar membiarkan perbedaan, sehingga konflik dapat dicegah atau selesai dengan sendirinya
4.      Masyarakat yang bermoral, bersikap demokratis, dan mengembangkan empati terhadap satu sama lain
5.      Mampu menghargai diri sendiri dan orang lain dari  berbagai latar belakang yang berbeda
6.      Proses pembelajaran nilai, pengetahuan dan ketrampilan hidup dalam masyarakat yang multikultural berlangsung sebagai bagian dari kesehatan anggota masyarakat.[2]
Sedangkan menurut Kun maryati dan Juju Suryawati, cirri – cirri masyarakat multicultural antarlain :
a.       Menjunjung tinggi perbedaan kelompok social, kebudayaan, dan suku bangsa
b.      Tidak ada kesenjangan atau perbedaan hak dan kewajiban diantara mereka
c.       Memperjuangkan kesederajatan antara kelompok minoritas dan mayoritas, baik secara hukum maupun social.
d.      Menuntut kehidupan yang penuh toleransi, saling pengertian antar budaya, dan antarbangsa dalam membina suatu dunia baru.
e.       Menyumbangkan rasa cinta terhadap sesame dan sebagai alat untuk membina dunia yang aman dan sejahtera.[3]
Keanekaragaman dalam masyarakat ini memiliki beberapa karakteristik . menurut Pierre L. Van den Berghe yang dikutip oleh Kun Maryati dan Juju suryawati, karakteristik keberagaman tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Terjadinya segmentasi atau pembagaian kedalam kelompok-kelompok yang sering kali memiliki sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
2.      Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non komplementer (tidak saling melengkapi).
3.      Kurang mengembangkan konsensus (kesepakatan) diantara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
4.      Secara relative, sering kali terjadi konflik antara kelompok satu dan kelompok yang lain.
5.      Secara relative, integrasi sosial tumbuh diatas paksaan  (coercion) dan saling ketergantungan dalam bidang ekonomi.
6.      Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lain.[4]

C.     Faktor Penyebab Terjadinya Masyarakat Multikultural
Menurut fritz, Multikulturalisme terjadi karena suatu masyarakat memiliki keragaman budaya yang sangat majemuk. Dalam konteks Indonesia, corak masyarakat Indonesia yang “Bhineka Tunggal ika” bukan lagi hanya berkutat pada keanekaragaman suku bangsa, melainkan keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat  Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagumkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Multikulturalisme berkembang didukung oleh adanya toleransi dan kesediaan untuk saling menghargai.
Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat dilihat mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti mozaik. Didalam mozaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat – masyarakat lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mozaik tersebut.[5]
Menurut Kun Maryati dan juju Suryawati, Faktor penyebab terjadinya masyarakat multicultural ialah :
a.       Keadaan Geografis, kita ambil salah satu Negara yang di dalamnya terdapat masyarakat multikulturalisme yaitu Indonesia. Kenapa masyarakat Indonesia bisa termasuk kedalam masyarakat multikulturalisme, karena Indonesia memiliki sekitar 13.600 pulau. Kondisi geografis yang terpisah – pisah tersebut yang mengakibatkan penduduk yang menempati pulau – pulau itu tumbuh menjadi kesatuan – kesatuan bangsa yang terisolasi dengan yang lain. Kenudian mereka mengembangkan pola perilaku, bahasa, dan ikatan – ikatan kebudayaan lainnya yang berbeda satu sama lainnya.
b.      Pengaruh kebudayaan asing. Indonesia terletak pada posisi silang antara dua samudra dan dua benua. Kondisi yang strategis ini merupakan daya tarik tersendiri bagi bangsa – bangsa asing untuk dating, singgah, dan menetap di Indonesia.
c.       Iklim yang berbeda. Iklim yang berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain di kawasan Indonesia menimbulkan kondisi alam yang berbeda. Kondisi ini akhirnya membentuk pola perilaku dan system mata pencaharian yang berbeda – beda. Akibatnya, terjadi keragaman regional antara daerah – daerah di Indonesia
d.      Pembangunan. Pembangunan diberbagai sector juga memberi andil bagi keragaman masyarakat Indonesia, khususnya secara vertical. Kemajuan dan industrialisasi yang terjadi dalam masyarakat Indonesia menghasilkan kelas – kelas social yang didasarkan pada aspek ekonomi. Kelas – kelas social tersebut adalah kelas atas yang terdiri dari pengusaha dan pemilik modal serta kelas menengah yang terdiri dari eksekutif.[6]
Menurut Tilaar, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang medorong berkembang pesatnya pemikiran mutikulturalisme, yaitu HAM, Globalisasi, dan Proses Demokrasi. HAM yang dimaksud adalah penghargaan terhadap hak-hak dasar manusia. Globalisasi, maksudnya adalah terdapat paham mengenai kesetaraan antar keragaman budaya yang terdapat di dunia. Sedangkan Proses demokrasi adalah proses pengakuan dan penghargaan yang besar terhadap keragaman dan perbedaan.
Ketiga hal tersebut dapat diumpamakan sebagai segitiga sama sisi yang tidak dapat dipisah-pisahkan dalam penerapan konsep masyarakat multikultural. HAM merujuk pada pengakuan bahwa setiap manusia adalah sama. Siapa pun dia, dari latar belakang budaya apa pun, kelompok sosial manapun, mayoritas maupun minoritas, semuanya memiliki hak yang sama sebagai manusia.

D.    Faktor Penghambat Masyarakat Multikultural
1.      Menganggap budaya sendiri yang paling baik. Pengakuan terhadap budaya sendiri yang berlebihan dapat mengarah kepada kecintaan pada diri sendiri atau kelompoknya yang disebut narsisme budaya. Sikap ini merupakan warisan dari kolonialisme yang menganggap bahwa bangsa jajahannya rendah dan memiliki kebudayaan inferior. Sebaiknya, penjajah memiliki kebudayaan superior.
2.      Pertentangan antara budaya barat dan budaya timur. Dalam masyarakat dunia, ada pandangan yang menganggap budaya barat sebagai budaya progresif atau maju yang sarat dengan kedinamisan. Sebaliknya, budaya timur diidentikkan dengan budaya yang dingin dan kurang dinamis. Pertentangan ini cenderung Eropa-sentris sehingga mengakibatkan westernisasi di berbagai bidang kehidupan.
3.      Plularisme budaya dianggap sebagai sesuatu yang eksotik. Hal itu merupakan pandangan yang banyak dianut oleh para pengamat barat terhadap pluralisme. Mereka menganggap budaya lain di luar budayanya sebagai budaya luar. Merreka memandang budaya lain memiliki sifat eksotik dan menarik perhatian dan bukan dihargai sebagai budaya yang memiliki kekhasan yang berbeda dengan budayanya.
4.      Pandangan yang paternalistik. Ada banyak peneliti dan pengamat budaya dari kaum laki – laki yang masih menganut paham paternalistic. Hal itu tentu saja menimbulkan bias gender terhadap perempuan. Hingga saat ini, masih banyak masyarakat memandang status perempuan sebagai sesuatu yang minor dan disubordinasikan dari peran laki – laki.
5.      Mencari apa yang disebut indigenous culture, yaitu mencari sesuatu yang dianggap asli. Sebagai contoh di Jakarta, ada kecenderungan menamai gedung – gedung dengan nama bahasa sansekerta. Pada era globalisasi, pemujaan terhadap indigenous culture merupakan sikap yang mempertentangkan istilah barat dan non barat. Pada era tersebut, kerjasama internasional tidak mengharamkan penggunaan unsure – unsure budaya lainyang dapat diapdosi dan disesuaikan dengan lingkungan budaya yang berbeda.
6.      Pandangan negatif penduduk asli terhadap orang asing yang dapat berbicara mengenai kebudayaan penduduk asli. Walaupun masyarakat yang memiliki budaya tahu banyak tentang budayanya, bukan berarti orang lain atau orang asing tidak boleh mempelajari budaya masyarakat tersebut. Kenyataannya, banyak orang asing yang memiliki kemampuan lebih untuk menelaah budaya suatu masyarakat, bahkan mempersoalkannya. Namun, dalam kenyataannya banyak orang tidak menyukai atau tidak mengakui pandangan orang lain terhadap kebudayaannya.[7]
E.     Perilaku Primordial dalam Masyarakat Multikultural
Salah satu realitas yang kerap ditemui pada masyarakat multicultural adalah terjadinya primordialisme, yaitu pandangan atau paham yang menunjukkan sikap berpegang teguh pada hal – hal yang sejak semula melekat pada diri individu, seperti suku bangsa, ras dan agama. Primordialisme sebagai identitas sebuah golongan atau kelompok social merupakan factor penting dalam memperkuat ikatan golongan atau kelompok yang bersangkutan dalam menghadapi ancaman dari luar. Namun seiring dengan itu, primordialisme juga dapat membangkitkan prasangka dan permusuhan terhadap golongan atau kelompok social yang lain.  
Primordialisme sering terjadi karena factor – factor berikut ini :
1.      Adanya sesuatu yang dianggap istimewa oleh individu dalam suatu kelompok atau perkumpulan sosial.
2.      Adanya suatu sikap untuk mempertahankan keutuhan suatu kelompok atau kesatuan social dari ancaman luar.
3.      Adanya nilai- nilai yang berkaitan dengan sistem keyakinan, seperti nilai keagamaan dan pandangan hidup.
Primordial yang berlebigan juga akan menghasilkan sebuah pandangan subjektif yang disebut etnosentrisme atau fanatisme suku bangsa. Etnosentrisme adalah suatu sikap menilai kebudayaan masyarakat lain dengan menggunakan ukuran – ukuran yang berlaku di masyarakat. Karena yang dipakai adlah ukuran – ukuran masyarakatnya, maka orang tersebut akan selalu menganggap kebudayaannya memiliki nilai lebih tinggi daripada kebudayaan masyarakat lain.  
Etnosentrisme dapat menghambat hubungan antar kebudayaan atau bangsa. Etnosentrisme juga dapat menghambat proses asimilasi dan integrasi social. Bahkan, etnosentrisme bias menjadi potensi konflik antar kelompok. Meski begitu, etnosentrisme juga memiliki segi – segi positif, antara lain :
a.       Menjaga keutuhan dan kestabilan budaya
b.      Mempertinggi semangat patriotisme dan kesetiaan kepada bangsa
c.       Memperteguh rasa cinta terhadap kebudayaan atau bangsa.[8]
F.      MEWUJUDKAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL
Masyarakat multikultural di sini adalah masyakat Indonesia yang mengakui adanya beragam keunikan budaya di Indonesia, masyarakat yang mengakui adanya perbedaan, tetapi tidak mengekang kelompok lain. Perbedaan atau pluralitas dianggap sebagai kekuatan yang luar biasa untuk membangun peradaban yang lebih baik.
Ada tiga dasar yang dapat dijadikan acuan untuk pendidikan multicultural, yaitu sebagai berikut :
1.      Pengakuan terhadap identitas budaya lain. Terkandung didalamnya, suatu pengakuan terhadap kekuatan yang dimiliki, sehingga akan muncul sikap jujur untuk mengakui keunggulan yang dimiliki budaya tersebut.
2.      Adat kebiasaan dan tradisi yang hidup dalam suatu masyarakat merupakan tali pengikat kesatuan perilaku di dalam masyarakat.
3.      Kemajuan-kemajuan yang diperoleh kelompok-kelompok tertentu didalam masyarakat dilihat juga sebagai sumbangan yang besar yang bagi kelompok yang lebih luas, seperti Negara.
Dengan dasar seperti itu, akan tercipta suatu masyarakat yang harmonis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini, sosialisasi masyarakat multicultural begitu strategis dan dibutuhkan dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang ideal dan lestari.
Untuk mewujudkan masyarakat multicultural yang hidup dalam suasana harmonis, diperlukan beberapa cara untuk memecahkan masalah yang sering timbul sebagai akibat perbedaan budaya. Bales mengemukakan tiga tahap pemecah masalah, yaitu sebagai berikut:
1.      Tahap orientasi. Dalam tahap ini, para anggota kelompok saling bertanya dan saling memberi informasi sehingga terhindar dari pemahaman atau pengertian yang keliru antar pihak yang berkepentingan.
2.      Tahap evaluasi. Tiap anggota membahas informasi dan saling bertukar pendapat. Dari tahap ini, keterbukaan keterbukaan antar kelompok atau golongan terjadi sehingga akan muncul berbagai alternative baru dalam menyelesaikan masalah.
3.      Tahap kontrol. Para anggota kelompok menyarankan untuk mencari jalan keluar dalam mencapai suatu kesimpulan akhir.
Metode tersebut merupakan salah satu upaya awal dalam mengamati secara sistematis perilaku kelompok. Dari cara diatas akan timbul sikap keterbukaan antar kelompok masyarakat yang menjadi syarat utama dari hubungan yang harmonis.


G.    Manfaat Masyarakat Multikulturalisme
Manfaat yang bisa di petik dari masyarakat multikulturalisme adalah :
1.      Melalui hubungan yang harmonis antar masyarakat, dapat digali kearifan budaya yang dimiliki oleh setiap budaya.
2.      Munculnya rasa penghargaan terhadap budaya lain sehingga muncul sikap toleransi yang merupakan syarat utama dari masyarakat multicultural
3.      Merupakan benteng pertahanan terhadap ancaman yang timbul dari budaya capital yang cenderung melumpuhkan budaya yang beragam. Paham kapitalisme cenderung diskriminatif dan cenderung mengabaikan eksistensi budaya setempat
4.      Multikulturalisme merupakan alat untuk membina dunia yang aman dan sejahtera. Dengan multikulturalisme, bangsa – bangsa duduk bersama, saling menghargai, dan saling membantu untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi. Masalah yang dihadapi oleh suatu masyarakat secara langsung atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap masyarakat yang lain pula
5.      Multikulturalisme mengajarkan suatu pandangan bahwa kebenaran itu tidak dimonopoili oleh satu orang atau kelompok saja, tetapi kebenaran itu ada dimana – mana, tergantung dari sudut pandang setiap orang. Masyarakat multicultural menganggap bahwa dengan saling mengenal dan saling menghargai budaya orang lain, dapat tercipta kehidupan yang penuh toleransi untuk terciptanya masyarakat yang aman dan sejahtera.[9]      


[1] Kun Maryati dan Juju Suryawati. 2008. “Seri Pendalaman Materi Sosiologi SMA dan MA”. Jakarta : Erlangga. Hal : 40.
[2] Fritz H.S. Danamik. 2009. “Fokus Sosiologi Siap UN SMA/MA”. Jakarta : Erlangga. Hal : 37.
[3] Kun Maryati dan Juju Suryawati. 2008. “Seri Pendalaman Materi Sosiologi SMA dan MA”. Jakarta : Erlangga. Hal : 40.
[4] Ibid. 2001. “Sosiologi untuk SMA/MA”. Jakarta : Erlangga. Hal : 37.
[5] Fritz H.S. Danamik. 2009. “Fokus Sosiologi Siap UN SMA/MA”. Jakarta : Erlangga. Hal : 38.
[6] Kun Maryati dan Juju Suryawati. 2008. “Seri Pendalaman Materi Sosiologi SMA dan MA”. Jakarta : Erlangga. Hal : 41.
[7] Kun Maryati dan Juju Suryawati. 2008. “Seri Pendalaman Materi Sosiologi SMA dan MA”. Jakarta : Erlangga. Hal : 40-41.
[8] Fritz H.S. Danamik. 2009. “Fokus Sosiologi Siap UN SMA/MA”. Jakarta : Erlangga. Hal : 39.
[9] Kun Maryati dan Juju Suryawati. 2008. “Seri Pendalaman Materi Sosiologi SMA dan MA”. Jakarta : Erlangga. Hal : 42.

Perekonomian Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semenjak gejolak dan kerusuhan sosial merebak di berbagai daerah, kesenjangan sosial banyak dibicarakan. Beberapa pakar dan pengamat masalah sosial menduga bahwa kerusuhan sosial berkaitan dengan kesenjangan sosial. Ada yang sependapat dengan dugaan itu, tetapi ada yang belum yakin bahwa penyebab kerusuhan sosial adalah kesenjangan sosial. Tidak seperti kesenjangan ekonomi, kesenjangan sosial cukup sulit diukur secara kuantitatif. Jadi, sulit menunjukkan bukti-bukti secara akurat. Namun, tidaklah berarti kesenjangan sosial dapat begitu saja diabaikan dan dianggap tidak eksis dalam perjalanan pembangunan selama ini. Di bagian ini dicoba menunjukkan realitas dan proses merebaknya gejala kesenjangan sosial.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang muncul adalah antara lain sebagai berikut :
1.      Apa itu kemiskinan?
2.      Apa itu kesenjangan sosial?
3.      Apakah kebijakan pembangunan telah menciptakan kemiskinan dan kesenjangan sosial di Indonesia pra dan pasca runtuhnya Orde Baru?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulisan makalah ini bertujuan:
1.      Untuk mengetahui apa itu kemiskinan
2.      Untuk mengetahui apa itu kesenjangan social
3.      Untuk mengetahui apakah kebijakan pembangunan telah menciptakan kemiskinan dan kesenjangan social di Indonesia pra dan pasca runtuhnya orde baru.





BAB II
KEMISKINAN DAN KESENJANGAN SOSIAL DI INDONESIA PRA DAN PASCA RUNTUHNYA ORDE BARU
A. KEMISKINAN
1. Pandangan tentang kemiskinan
Pebedaan pandangan dari setiap ahli tentang kemiskinan merupakan hal yang wajar. Hal ini karena data, dan metode penelitian yang berbeda , tetapi justru terletak pada latar belakang idiologisnya. Menurut Weber (Swasono,1987), ideologi bukan saja menentukan berbagai macam masalah yang dianggap penting, tetapi juga mempengaruhi cara mendefenisikan masalah sosial ekonomis, dan bagaimana masalah sosial ekonomi itu diatasi. Kemiskinan disepakati sebagai masalah yang bersifat sosial ekonomi, tetapi penyebab dan cara mengatasinya terkait dengan ideologi yang melandasinya. Untuk memahami ideologi tersebut ada tiga pandangan pemikiran yaitu konservatisme, liberalisme, dan radikalisme (Swasono, 1987). Penganut masing-masing pandangan memiliki cara pandang yang berbeda dalam menjelaskan kemiskinan. Kaum konservatif memandang kemiskinan bermula dari karakteristik khas orang miskin itu sendiri. Orang menjadi miskin karena tidak mau bekerja keras , boros, tidak mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa wiraswasta, fatalis, dan tidak ada hasrat untuk berpartisipasi.
Menurut Oscar Lewis (1983), orang-orang miskin adalah kelompok yang mempunyai budaya kemiskinan sendiri yang mencakup karakteristik psikologis sosial, dan ekonomi. Kaum liberal memandang bahwa manusia sebagai makhluk yang baik tetapi sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Budaya kemiskinan hanyalah semacam realistic and situational adaptation pada linkungan yang penuh diskriminasi dan peluang yang sempit. Kaum radikal mengabaikan budaya kemiskinan, mereka menekankan peranan struktur ekonomi, politik dan sosial, dan memandang bahwa manusia adalah makhluk yang kooperatif, produktif dan kreatif.
Philips dan Legates (1981) mengemukakan empat pandangan tentang kemiskinan, yaitu Pertama, kemiskinan dilihat sebagai akibat dari kegagalan personal dan sikap tertentu khususnya ciri-ciri sosial psikologis individu dari si miskin yang cendrung menghambat untuk melakukan perbaikan nasibnya. Akibatnya, si miskin tidak melakukan rencana ke depan, menabung dan mengejar tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Kedua, kemiskinan dipandang sebagai akibat dari sub budaya tertentu yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kaum miskin adalah kelompok masyarakat yang memiliki subkultur tertentu yang berbeda dari golongan yang tidak miskin, seperti memiliki sikap fatalis, tidak mampu melakukan pengendalian diri, berorientasi pada masa sekarang, tidak mampu menunda kenikmatan atau melakukan rencana bagi masa mendatang, kurang memiliki kesadaran kelas, atau gagal dalam melihat faktor-faktor ekonomi seperti kesempatan yang dapat mengubah nasibnya. Ketiga, kemiskinan dipandang sebagai akibat kurangnya kesempatan, kaum miskin selalu kekurangan dalam bidang keterampilan dan pendidikan untuk memperoleh pekerjaan dalam masyarakat. Keempat, bahwa kemiskinan merupakan suatu ciri struktural dari kapitalisme, bahwa dalam masyarakat kapitalis segelintir orang menjadi miskin karena yang lain menjadi kaya. Jika dikaitkan dengan pandangan konservatisme, liberalisme dan radikalisme, maka poin pertama dan kedua tersebut mencerminkan pandangan konservatif, yang cendrung mempersalahkan kemiskinan bersumber dari dalam diri si miskin itu sendiri. Ketiga lebih mencerminkan aliran liberalisme, yang cendrung menyalahkan ketidakmapuan struktur kelembagaan yang ada. Keempat dipengaruhi oleh pandangan radikalis yang mempersalahkan hakekat atau prilaku negara kapitalis.
Masing-masing pandangan tersebut bukan hanya berbeda dalam konsep kemiskinan saja, tetapi juga dalam implikasi kebijakan untuk menanggulanginya. Keban (1994) menjelaskan bahwa pandangan konservatif cendrung melihat bahwa program-program pemerintah yang dirancang untuk mengubah sikap mental si miskin merupakan usaha yang sia-sia karena akan memancing manipulasi kenaikan jumlah kaum miskin yang ingin menikmati program pelayanan pemerintah. Pemerintah juga dilihat sebagai pihak yang justru merangsang timbulnya kemiskinan. Aliran liberal yang melihat si miskin sebagai pihak yang mengalami kekurangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, pelatihan, pekerjaan dan perumahan yang layak, cendrung merasa optimis tentang kaum miskin dan menganggap mereka sebagai sumber daya yang dapat berkembang seperti halnya orang-orang kaya. Bantuan program pemerintah dipandang sangat bermanfaat dan perlu direalisasikan. Pandangan radikal memandang bahwa kemiskinan disebabkan struktur kelembagaan seperti ekonomi dan politiknya, maka kebijakan yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan perubahan kelembagaan ekonomi dan politik secara radikal.

Menurut Flanagan (1994), ada dua pandangan yang berbeda tentang kemiskinan, yaitu culturalist dan structuralist. Kulturalis cendrung menyalahkan kaum miskin, meskipun kesempatan ada mereka gagal memanfaatkannya, karena terjebak dalam budaya kemiskinan. Strukturalis beranggapan bahwa sumber kemiskinan tidak terdapat pada diri orang miskin, tetapi adalah sebagai akibat dari perubahan priodik dalam bidang sosial dan ekonomi seperti kehilangan pekerjaan, rendahnya tingkat upah, diskriminasi dan sebagainya. Implikasi dari dua pandangan ini juga berbeda, terhadap konsep kulturalis perlu dilakukan perubahan aspek kultural misalnya pengubahan kebiasaan hidup. Hal ini akan sulit dan memakan waktu lama, dan biaya yang tidak sedikit. Terhadap konsep kulturalis perlu dilakukan pengubahan struktur kelembagaan seperti kelembagaan ekonomi, sosial dan kelembagaan lain yang terkait.
2. Pengertian Kemiskinan
Memahamai substansi kemiskinan merupakan langkah penting bagi perencana program dalam mengatasi kemiskinan. Menurut Sutrisno (1993), ada dua sudut pandang dalam memahami substansi kemiskinan di Indonesia. Pertama adalah kelompok pakar dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengikuti pikiran kelompok agrarian populism, bahwa kemiskinan itu hakekatnya, adalah masalah campur tangan yang terlalu luas dari negara dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat pedesaan. Dalam pandangan ini, orang miskin mampu membangun diri mereka sendiri apabila pemerintah memberi kebebasan bagi kelompok itu untuk mengatur diri mereka sendiri. Kedua, kelompok para pejabat, yang melihat inti dari masalah kemiskinan sebagai masalah budaya. Orang menjadi miskin karena tidak memiliki etos kerja yang tinggi, tidak meiliki jiwa wiraswasta, dan pendidikannya rendah. Disamping itu, kemiskinan juga terkait dengan kualitas sumberdaya manusia. Berbagai sudut pandang tentang kemiskinan di Indonesia dalam memahami kemiskinan pada dasarnya merupakan upaya orang luar untuk memahami tentang kemiskinan. Hingga saat ini belum ada yang mengkaji masalah kemiskinan dari sudut pandang kelompok miskin itu sendiri.
Kajian Chambers (1983) lebih melihat masalah kemiskinan dari dimensi si miskin itu sendiri dengan deprivation trap, tetapi Chambers sendiri belum menjelaskan tentang alasan terjadinya deprivation trap itu. Dalam tulisan ini dicoba menggabungkan dua sudut pandang dari luar kelompok miskin, dengan mengembangkan lima unsur keterjebakan yang dikemukakan oleh Chambers (1983), yaitu : (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) Keterasingan, (4) Kerentanan, dan (5) Ketidak berdayaan.
Pengertian kemiskinan disampaikan oleh beberapa ahli atau lembaga, diantaranya adalah BAPPENAS (1993) mendefisnisikan keimiskinan sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena kehendak oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Levitan (1980) mengemukakan kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Faturchman dan Marcelinus Molo (1994) mendefenisikan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dan atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Menurut Ellis (1994) kemiskinan merupakan gejala multidimensional yang dapat ditelaah dari dimensi ekonomi, sosial politik. Menurut Suparlan (1993) kemiskinan didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Reitsma dan Kleinpenning (1994) mendefisnisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat material maupun non material. Friedman (1979) mengemukakan kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk memformulasikan basis kekuasaan sosial, yang meliptui : asset (tanah, perumahan, peralatan, kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai), organisiasi sosial politik yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang atau jasa, pengetahuan dan keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna. Dengan beberapa pengertian tersebut dapat diambil satu poengertian bahwa kemiskinan adalah suatu situasi baik yang merupakan proses maupun akibat dari adanya ketidakmampuan individu berinteraksi dengan lingkungannya untuk kebutuhan hidupnya.
3. Budaya Kemiskinan
Sumarjan (1993) mengemukakan bahwa budaya kemiskinan adalah tata hidup yang mengandung sistem kaidah serta sistem nilai yang menganggap bahwa taraf hidup miskin disandang suatu masyarakat pada suatu waktu adalah wajar dan tidak perlu diusahakan perbaikannya. Kemiskinan yang diderita oleh masyarakat dianggap sudah menjadi nasib dan tidak mungkin dirubah, karena itu manusia dan masyarakat harus menyesuaikan diri pada kemiskinan itu, agar tidak merasa keresahan jiwa dan frustrasi secara berkepanjangan. Dalam rangka budaya miskin ini, manusia dan masyarakat menyerah kepada nasib dan bersikap tidak perlu, dan bahkan juga tidak mampu menggunakan sumber daya lingkungan untuk mengubah nasib.
Menurut Oscar Lewis (1983), budaya kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian, dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualist dan berciri kapitalisme. Budaya tersebut mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa putus asa dan tanpa harapan, yang merupakan perwujudan dan kesadaran akan mustahilnya mencapai akses, dan lebih merupakan usaha menikmati masalah yang tak terpecahkan (tak tercukupi syarat, tidak sanggupan). Budaya kemiskinan melampaui batas-batas perbedaan daerah, perbedaan pedesaan-perkotaan, perbedaan bangsa dan negara, dan memperlihatkan perasaan yang mencolok dalam struktur keluarga, hubungan-hubungan antar pribadi, orientasi waktu, sistem-sistem nilai, dan pola-pola pembelanjaan.
Menurut Lewis (1983), budaya kemiskinan dapat terwujud dalam berbagai konteks sejarah, namun lebih cendrung untuk tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang memiliki seperangkat kondisi: (1) Sistem ekonomi uang, buruh upahan dan sistem produksi untuk keuntungan, (2) tetap tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak terampil; (3) rendahnya upah buruh; (4) tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisiasi sosial, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah; (5) sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada sistem unilateral; dan (6) kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertical, dan sikap hemat, serta adanya anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidak sanggupan pribadi atau memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.
Budaya kemiskinan bukanlah hanya merupakan adaptasi terhadap seperangkat syarat-syarat obyektif dari masyarakat yang lebih luas, sekali budaya tersebut sudah tumbuh, ia cendrung melanggengkan dirinya dari generasi ke generasi melaui pengaruhnya terhadap anak-anak. Budaya kemiskinan cendrung berkembang bila sistem-sistem ekonomi dan sosial yang berlapis-lapis rusak atau berganti, seperti masa pergantian feodalis ke kapitalis atau pada masa pesatnya perubahan teknologi. Budaya kemiskinan juga merupakan akibat penjajahan yakni struktur ekonomi dan sosial pribumi diobrak, sedangkan atatus golongan pribumi tetap dipertahankan rendah, juga dapat tumbuh dalam proses penghapusan suku. Budaya kemiskinan cendrung dimiliki oleh masyarakat strata sosial yang lebih rendah, masyarakat terasing, dan warga urban yang berasal dari buruh tani yang tidak memiliki tanah.
Menurut Parker Seymour dan Robert J. Kleiner (1983) formulasi kebudayaan kemiskinan mencakup pengertian bahwa semua orang yang terlibat dalam situasi tersebut memiliki aspirasi-aspirasi yang rendah sebagai salah satu bentuk adaptasi yang realistis. Beberapa ciri kebudyaan kemiskinan adalah : (1) fatalisme, (2) rendahnya tingkat aspirasi, (3) rendahnya kemauan mengejar sasaran, (4) kurang melihat kemajuan pribadi , (5) perasaan ketidak berdayaan/ketidakmampuan, (6) Perasaan untuk selalu gagal, (7) Perasaan menilai diri sendiri negatif, (8) Pilihan sebagai posisi pekerja kasar, dan (9) Tingkat kompromis yang menyedihkan. Berkaitan dengan budaya sebagai fungsi adaptasi, maka suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk mengubah nilai-nilai yang tidak diinginkan ini menuju ke arah yang sesuai dengan nilai-nilai golongan kelas menengah, dengan menggunakan metode-metodre psikiatri kesejahteraan sosial-pendidikan tanpa lebih dahulu (ataupun secara bersamaan) berusaha untuk secara berarti mengubah kenyataan kenyataan struktur sosial (pendapatan, pekerjaan, perumahan, dan pola-pola kebudayaan membatasi lingkup partisipasi sosial dan peyaluran kekuatan sosial) akan cendrung gagal. Budaya kemiskinan bukannya berasal dari kebodohan, melainkan justru berfungsi bagi penyesuaian diri.
Hal penting dalam membahas kemiskinan dan kebudayaan adalah untuk mengetahui seberapa cepat orang-orang miskin akan mengubah kelakuan mereka, jika mereka mendapat kesempatan-kesempatan baru; dan macam hambatan atau halangan-halangan yang baik atau buruk yang akan timbul dari reaksi tersebut terhadap situasi-situasi masa lampau. Untuk menentukan macam kesempatan-kesempatan yang harus diciptaan untuk menghapus kemiskinan, yaitu mendorong oang-orang msikin melakukan adapatasi terhadap kesempatan-kesempatan yang bertentangan dengan pola-pola kebudayaan yang mereka pegang teguh dan cara mereka dapat mempertahankan pola-pola kebudayaan yang mereka pegang teguh tersebut agar tidak akan bertentangan dengan aspirasi-aspirasi lainnya. Hanya orang-orang miskin yang tidak mampu menerima kesempatan-kesempatan karena mereka tidak dapat membuang norma-norma kelakukan yang digolongkan sebagai pendukung kebudayaan kelas bawah.
Akibat kemiskinan tersebut, sebagian besar penduduk Indonesia menghadapinya dengan nilai-nilai pasrah atau nrimo (kemiskinan kebudayaan). Terbentuknya pola pikir dan prilaku pasrah itu dalam jangka waktu yang lama akan berubah menjadi semacam “institusi permanen” yang mengatur prilaku mereka dalam menyelesaikan problematika di dalam hidup mereka atau krisis lingkungan mereka sendiri (Lewis, 1968 dalam Haba, 2001). Menurut penganut paradigma kemiskinan kebudayaan ini, orang yang berada dalam kondisi serupa tidak sanggup melihat peluang dan jalan keluar untuk memperbaiki kehidupannya. Karakteristik kelompok ini terlihat dari pola substensi mereka yang berorientasi dari tangan ke mulut (from hand to mouth) (Haba, 2001 ).
4. Kemiskinan Struktural
Kemiskinan struktural menurut Selo Sumarjan (1980) adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan strukturl adalah suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber pada struktur sosial, dan oleh karena itu dapat dicari pada struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Golongan kaum miskin ini terdiri dari ; (1) Para petani yang tidak memiliki tanah sendiri, (2) Petani yang tanah miliknya begitu kecil sehingga hasilnya tidak cukup untuk memberi makan kepada dirinya sendiri dan keluargamnya, (3) Kaum buruh yang tidak terpelajar dan tidak terlatih (unskilled labourerds), dan (4) Para pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah (golongan ekonomi lemah).
Kemiskinan struktural tidak sekedar terwujud dengan kekurangan sandang dan pangan saja, kemiskinan juga meliputi kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya, sosial yang mantap.
Beberapa ciri kemiskinan struktural, menurut Alpian (1980) adalah (1) Tidak ada atau lambannya mobilitas sosial (yang miskin akan tetap hidup dengan kemelaratanya dan yang kaya akan tetap menikmati kemewahannya), (2) mereka terletak dalam kungkungan struktur sosial yang menyebabkan mereka kekurangan hasrat untuk meningkatkan taraf hidupnya, dan (3) Struktur sosial yang berlaku telah melahirkan berbagai corak rintangan yang menghalangi mereka untuk maju. Pemecahan permasalahan kemiskinan akan bisa dilakukan bilamana struktur sosial yang berlaku itu dirubah secara mendasar.
Soedjatmoko (1984) memberikan contoh kemiskinan structural; (1) Pola stratifikasi (seperti dasar pemilikan dan penguasaan tanah) di desa mengurangi atau merusak pola kerukukan dan ikatan timbal-balik tradisional, (2) Struktur desa nelayan, yang sangat tergantung pada juragan di desanya sebagai pemilik kapal, dan (3) Golongan pengrajin di kota kecil atau pedesaan yang tergantung pada orang kota yang menguasai bahan dan pasarnya. Hal-hal tersebut memiliki implikasi tentang kemiskinan structural : (1) kebijakan ekonomi saja tidak mencukupi dalam usaha mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural, dimensi struktural perlu dihadapi juga terutama di pedesaan; dan (2) perlunya pola organisasi institusi masyarakat pedesan yang disesuaikan dengan keperluannya, sebaga sarana untuk mengurangi ketimpangan dan meningkatkan bargaining power, dan perlunya proses Sosial learning yang spesifik dengan kondisi setempat.
Adam Malik (1980) mengemukakan bahwa untuk mencari jalan agar struktur masyarakat Indonesia dapat diubah sedemikian rupa sehingga tidak terdapat lagi di dalamnya kemelaratan structural. Bantuan yang terpenting bagi golongan masyarakat yang menderita kemiskinan struktural adalah bantuan agar mereka kemudian mampu membantu dirinya sendiri. Bagaimanapun kegiatan pembangunan yang berorientasi pertumbuhan maupun pemerataan tidak dapat mengihilangkan adanya kemiskinan struktural.
Pada hakekatnya perbedaan antara si kaya dengan si miskin tetap akan ada, dalam sistem sosial ekonomi manapun. Yang lebih diperlukan adalah bagaimana lebih memperkecil kesenjangan sehingga lebih mendekati perasaan keadilan sosial. Soedjatmoko (1984) berpendapat bahwa, pembangunan yang semata-mata mengutamakan pertumbuhan ekonomi akan melanggengkan ketimpangan struktural. Pola netes ke bawah memungkinkan berkembangnya perbedaan ekonomi, dan prilaku pola mencari nafkah dari pertanian ke non pertanian, tetapi proses ini akan lamban dan harus diikuti dengan pertumbuhan yang tinggi. Kemiskinan tidak dapat diatasi hanya dengan membantu golongan miskin saja, tanpa menghadapi dimensi-dimensi struktural seperti ketergntungan, dan eksploitasi. Permasalahannya adalah dimensi-dimensi struktural manakah yang mempengarhui secara langsung terjadinya kemiskinan, bagaimana ketepatan dimensi untuk kondisi sosial budaya setempat.
Sinaga dan White (1980) menunjukkan aspek-aspek kelembagaan dan struktur agraris dalam kaitannya dengan distribusi pendapatan kemiskinan: (1) penyebaranan teknologi, bahwa bukan teknologi itu sendiri, tetapi struktur kelembagaan dalam masyarakat tenpat teknologi itu masuk yang menentukan bahwa teknologi itu mempunyai dampak negatif atau positif terhadap distribusi pendapatan (2) lembaga perkreditan pedesaan, perkereditan yang menginginkan tercapainya pemerataan pendapatan, maka program perkreditan tersebut justru harus diskriminatif, artinya subsidi justru harus diberikan kepada petani kecil, bukan pemerataan berdasaran pemilikan atau penguasaan lahannya; (3) kelembagaan yang mengatur distribusi penguasaan atas faktor-faktor produksi di pedesaan turut menentukan tingkat pendapatan dari berbagai golongan di masyarakat,karena tidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan faktor ekonomi (interaksi antara penawaran dan permintaan) saja: dan (4) Struktur penguasaan atas sumber-sumber produksi bukan tenaga kerja (terutama tanah dan modal) yang lebih merata dapat meningkatkan pendapatan penduduk yang berada dibawahi garis kemiskinan.
5.Faktor Kemiskinan
Di dalam suatu negara, pastilah terdapat tantangan besar di dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu tantangan tersebut adalah kemiskinan. Di Indonesia sendiri, terdapat begitu banyak masyarakat yang terjerat dalam kemiskinan. Hal ini tentu saja tidak di inginkan oleh masyarakat Indonesia. Semua akibat tentunya terdapat sebabnya. Seperti kemiskinan ini, tidak terjadi begitu saja. Namun, hal ini terjadi mungkin dikarenakan faktor-faktor dalam masyarakat itu sendiri.
Kemiskinan sendiri mempunyai arti suatu keadaan di mana seseorang itu kekurangan bahan-bahan keperluan hidup.
Dari pengertian tersebut, dapat kita analisis sebab atau faktor-faktor yang menjadi penyebab kemiskinan tersebut. Faktor-faktor yang menjadi penyebab kemiskinan antarlain:
a.       Tingkat pendidikan masyarakat yang rata-rata rendah.
b.      Cara berpikir yang masih tradisional dan konservatif.
c.       Apatis dan anti hal-hal baru.
d.       Mentalitas dan etos kerja yang kurang baik.
e.       Keadaan alam yang kurang mendukung.
f.       Keterisoliran secara geografis dari pusat.
g.       Tiadanya potensi atau produk andalan.
h.      Rendahnya kinerja dan budaya korup aparatur pemerintah daerah.

6. Dampak Kemiskinan
Dampak dari kemiskinan terhadap masyarakat umumnya begitu banyak dan kompleks, diantaranya :
a.         Pengangguran.
Dengan banyaknya pengangguran berarti banyak masyarakat tidak memiliki penghasilan karena tidak bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Secara otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli masyarakat. Sehingga, akan memberikan dampak secara langsung terhadap tingkat pendapatan, nutrisi, dan tingkat pengeluaran rata-rata.
b.         Kekerasan.
Kekerasan-kekerasan yang marak terjadi akhir-akhir ini merupakan efek dari pengangguran. Karena seseorang tidak mampu lagi mencari nafkah melalui jalan yang benar dan halal. Ketika tak ada lagi jaminan bagi seseorang dapat bertahan dan menjaga keberlangsungan hidupnya maka jalan pintas pun dilakukan. Misalnya, merampok, menodong, mencuri, atau menipu. belakangan banyak oknum-oknum yang menggunakan modus penipuan melalui sms.
c.         Pendidikan
Tingkat putus sekolah yang tinggi merupakan fenomena yang terjadi dewasa ini. Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat miskin tidak dapat lagi menjangkau dunia sekolah atau pendidikan. Karena untuk makan satu kali sehari saja mereka sudah kesulitan.
Kondisi seperti ini membuat masyarakat miskin semakin terpuruk lebih dalam. Tingginya tingkat putus sekola berdampak pada rendahya tingkat pendidikan seseorang. Dengan begitu akan mengurangi kesempatan seseorang mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Ini akan menyebabkan bertambahnya pengangguran akibat tidak mampu bersaing di era globalisasi yang menuntut keterampilan di segala bidang.
d.        Kesehatan
Seperti kita ketahui, biaya pengobatan sekarang sangat mahal. Hampir setiap klinik pengobatan apalagi rumah sakit swasta besar menerapkan tarif atau ongkos pengobatan yang biayanya melangit. Sehingga, biayanya tak terjangkau oleh kalangan miskin.

B. Kesenjangan Sosial
1. Pengertian Kesenjangan Sosial
kesenjangan sosial diartikan sebagai kesenjangan (ketimpangan) atau ketidaksamaan akses untuk mendapatkan atau memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Sumber daya bisa berupa kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, peluang berusaha dan kerja, dapat berupa kebutuhan sekunder, seperti sarana pengembangan usaha, sarana perjuangan hak azasi, sarana saluran politik, pemenuhan pengembangan karir, dan lain-lain.


2. Faktor Penyebab Kesenjangan Sosial
Kesenjangan sosial dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat sehingga mencegah dan menghalangi seseorang untuk memanfaatkan akses atau kesempatan-kesempatan yang tersedia. Secara teoritis sekurang kurangnya ada dua faktor yang dapat menghambat. Pertama, faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang (faktor internal). Rendahnya kualitas sumberdaya manusia karena tingkat pendidikan (keterampilan) atau kesehatan rendah atau ada hambatan budaya (budaya kemiskinan). Kesenjangan sosial dapat muncul sebagai akibat dari nilai-nilai kebudayaan yang dianut oleh sekelompok orang itu sendiri. Akibatnya, nilai-nilai luas, seperti apatis, cenderung menyerah pada nasib, tidak mempunyai daya juang, dan tidak mempunyai orientasi kehidupan masa depan. Dalam penjelasan Lewis (1969), kesenjangan sosial tipe ini muncul karena masyarakat itu terkungkung dalam kebudayaan kemiskinan.
Kedua, faktor-faktor yang berasal dari luar kemampuan seseorang. Hal ini dapat terjadi karena birokrasi atau ada peraturan-peraturan resmi (kebijakan), sehingga dapat membatasi atau memperkecil akses seseorang untuk memanfaatkan kesempatan dan peluang yang tersedia. Dengan kata lain, kesenjangan sosial bukan terjadi karena seseorang malas bekerja atau tidak mempunyai kemampuan sebagai akibat keterbatasan atau rendahnya kualitas sumberdaya manusia, tetapi karena ada hambatan-hambatan atau tekanan­-tekanan struktural. Kesenjangan sosial ini merupakan salah satu penyebab munculnya kemiskinan structural. Alfian, Melly G. Tan dan Selo Sumarjan (1980:5) mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural meliputi kekurangan fasilitas pemukiman, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikatif, kekurangan fasilitas untuk mengembangkan usaha dan mendapatkan peluang kerja dan kekurangan perlindungan hukum.
Faktor mana yang paling dominan menyebabkan kesenjangan sosial. Kendati faktor internal dan kebudayaan (kebudayaan kemiskinan) mempunyai andil sebagai penyebab kesenjangan sosial, tetapi tidak sepenuhnya menentukan. Penjelasan itu setidaknya mengandung dua kelemahan. Pertama, sangat normatif dan mengundang kecurigaan dan prasangka buruk pada orang miskin serta mengesampingkan norma-norma yang ada (Baker, 1980:6). Kedua, penjelasan itu cenderung membesar-besarkan kemapanan kemiskinan. Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa kaum miskin senantiasa bekerja keras, mempunyai aspirasi tentang kehidupan yang baik dan mempunyai motivasi untuk memperbaiki kehidupan mereka. Mereka mampu menciptakan pemenuhan tutuntan kehidupan mereka (periksa misalnya kajian Bromley dan Chris Gerry, 1979; Papanek dan Kuncoroyakti, 1986; dan Pernia, 1994). Setiap saat orang miskin berusaha memperbaiki kehidupan dengan cara bersalin dan satu usaha ke usaha lain dan tidak mengenal putus asa (Sethuraman, 1981; Steele, 1985).
Jika demikian halnya, maka ihwal kesenjangan sosial tidak semata-mata karena faktor internal dan kebudayaan, tetapi lebih disebabkan oleh adanya hambatan struktural yang membatasi serta tidak memberikan peluang untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang tersedia. Breman (1985:166) menggambarkan bahwa bagi yang miskin “jalan ke atas sering kali dirintangi”, sedangkan: “jalan menuju ke bawah terlalu mudah dilalui”. Dengan kata lain, gejala kesenjangan sosial dan kemampuan kemiskinan lebih disebabkan adanya himpitan structural. Perlu dipertanyakan mengapa masyarakat dan kaum miskin pasrah dengan keadaan itu? Ketidakberdayaan (politik) dan kemiskinan kronis menyebabkan mereka mudah ditaklukkan dan dituntun untuk mengikuti kepentingan dan kemauan elit penguasa dan pengusaha. Apalagi tatanan politik dan ekonomi dikuasai oleh elit penguasa dan pengusaha.
C. Kebijakan Pembangunan dan Kesenjangan Sosial
Semenjak Orde Baru berkuasa, ada beberapa kebijakan yang diterapkan dalam bidang ekonomi. Salah satu kebijakan adalah memacu pertumbuhan ekonomi dengan mengeluarkan undang-undang Penanaman Modal Asing dengan memberikan persyaratan dan peraturan-peraturan yang lebih ringan dan menarik kepada investor dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya. Kegiatan industri meningkat tajam dan sangat pada GDP mengalami kenaikan dari sekitar 9% pada tahun 1970 menjadi sekitar 17% pada tahun 1992 (Booth dan McCawley, 1986:82 dan Sjahrir 1993:16). Pertumbuhan ekonomi juga mengalami kenaikan. Pendek kata, selama Orde Baru perekonomian mengalamii kemajuan pesat. Namun, bersamaan dengan itu ketimpangan sosial atau sekelompok kecil masyarakat, terutama mereka yang memiliki akses dengan penguasa politik dan ekonomi, sedangkan sebagian besar yang kurang atau hanya memperoleh sedikit manfaat. Bahkan, ada masyarakat merasa dirugikan dan tidak mendapat manfaat sama sekali. Kesenjangan sosial semakin terasa mengkristal dengan munculnya gejala monopoli. Monopoli dan oligopoly dan memperkecil akses usaha kecil untuk menggambarkan usaha mereka. Menurut Revrisond Baswer (dikutip dalam Bernes (1995:1) hampir seluruh cabang produksi dikuasai oleh perusahaan konglomerat. Perusahaan-perusahaan besar konglomerat menguasai berbagai kegiatan produksi murni dari produksi, eksploitasi hasil hutan, konstruksi, industri otomotif, transpotasi, perhotelan, makanan, perbankan, jasa-jasa keuangan, dan media komunikasi. Diperkirakan 200 konglomerat menguasai 58 persen PDB. Usaha-­usaha rakyat yang kebanyakan kecil dan tradisional hanya menguasai 8 persen. Kesenjangan sosial ini tidak hanya mengganggu pertumbuhan ekonomi rakyat tetapi menyebabkan ekonomi rakyat mengalami proses marjinalisasi.
Selain kebijakan ekonomi, kebijakan yang diduga turut menstrimulir kesenjangan social adalah kebijakan penataan lahan (tata ruang). Penerapan kebijakan penataan lahan selama ini belum dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Berbagai kekuatan dan kepentingan telah mempengaruhi dalam penerapan. Tarik menarik berbagai kekuatan dan kepentingan telah menimbulkan konflik antara pengusaha besar dan masyarakat. Dalam konflik acapkali kepentingan masyarakat (publik) diabaikan dan cenderung mengutamakan kepentingan sekelompok orang (pengusaha). Penelitian Suhendar (1994) menyimpulkan bahwa: ”Kooptasi tanah-tanah : terutama di pedesaan oleh kekuatan besar ekonomi dan luar komunitas semakin menggejala. Pembangunan sektor ekonomi, seperti pembangunan kawasan industri, pabrik-pabrik, sarana wisata telah menyita banyak lahan penduduk. Demikian pula, instansi-instansi pemerintah memerlukan tanah untuk pembangunan perkantoran, instruktural ekonomi, fasilitas sosial, perumahan, dan lain-lain. Di perkotaan, pemilik modal (konglomerat) bekerja sama dengan birokrasi membeli tanah-tanah penduduk untuk kepentingan pembangunan perumahan mewah, pusat perbelanjaan dan lain-­lain. Begitu pula di pedesaan pemilik modal menggusur penduduk dan memanfaatkan Iahan untuk kepentingan agroindustri, perumahan mewah, dan lapangan golf. Dalam banyak kasus, banyak tanah negara yang selama ini dikuasai penduduk dengan status tidak jelas di jadikan sasaran dan cara termudah untuk menggusur penduduk”
Dampak dari penerapan kebijakan penatagunaan lahan antara lain adalah terjadinya marjinalisasi dan pemiskinan masyarakat desa yang tanahnya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan yang dalam banyak hal belum dan kurang dapat memberikan keuntungan ekonomis bagi rakyat.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan pembangunan yang diterapkan oleh Pemerintahan Orde Baru bukan hanyak menciptakan kemiskinan dan kesenjangan pada masa itu, melainkan dampak kebijakan tersebut telah menciptakan kemiskinan dalam berbagai bentuk baik budaya kemiskinan maupun kemiskinan struktural hingga pasca runtuhnya orde baru (masa reformasi). Kebijakan pemerintah pada era tersebut pun telah menciptakan kesenjangan sosial, baik kesenjangan antardaerah, antargolongan maupun antarmasyarakat yang hingga kini belum dapat diperbaiki oleh pemerintahan era reformasi.












DAFTAR PUSTAKA
Alfinn, Mely G. Tan, dan Soemardjan. 1980. Kemiskinan Struktural Suatu Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial.
Baker, David, 1980. Memahami kemiskinan di Kota. Prisma, hal. 3-8.
Bappenas. 1993. Panduan Program Inpres Desa Tertinggal. Jakarta.
Bernas. 1995. Golkar Akan Perjuangkan Adanya Perimbangan Fasilitas Krediti antara Pengusaha Besar dan Kecil. Rabu, 24 Agustus, hal 5.
Booth, Anne dan McCawley. 1986. Ekonomi Orde Baru. Jakarta: Gramedia.
Breman, Jan, 1985, “Sistem tenaga Kerja Dualistis: Suatu Kritik Terhadap Konsep Sektor Informal” . dalam Chris Manning dan Tajuddin Noor Effendi (Ed), Urbanisasi, Pengangguran, dan sector Informal di Jakarta., Gramedia. Jakarta.
Chambers, Robert. 1983. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. LP3ES, Jakarta.
Ellis, G.F.R. 1984. The Demotion Of Poverty. Social Indicator Research.
Faturrochman, Marcelius Molo. “Karakteristik Rumah Tangga Miskin”. Populasi, Volume 5, Nomor 1, Tahun 1994.
Lewis. “Kebudayaan Kemiskinan”; Dalam Kemiskinan di Perkotaan di edit oleh Parsudi Suparlan, Jakarta – Sinar Harapan – Yayasan Obor 1983.
Mubyarto, Loekman Soetrisno, dan Michael Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan. Studi Ekonomi Antropologi di Desa Pantai, Rajawali, Jakarta.
Seymour Parker, dan Robert J. Kleiner. Lewis. “Kebudayaan Kemiskinan Sebuah Dimensi Penyesuaian Diri”; Dalam Kemiskinan di Perkotaan di edit oleh Parsudi Suparlan, Jakarta – Sinar Harapan – Yayasan Obor 1983.
Suhendar, Endang, 1994, Pemetaan Pola-Pola Sengketa Tanah di Jawa Barat, Yayasan Akatiga, Bandung.
Sumardjan, Selo. 1993. Kemiskinan (Suatu Pandangan Sosiologis). Makalah, Jakarta.
Suparlan, Parsudi. 1993. Kemiskinan di Perkotaan. Yayasan Obor, Indonesia.