BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semenjak gejolak dan kerusuhan sosial merebak di berbagai
daerah, kesenjangan sosial banyak dibicarakan. Beberapa pakar dan pengamat
masalah sosial menduga bahwa kerusuhan sosial berkaitan dengan kesenjangan sosial.
Ada yang sependapat dengan dugaan itu, tetapi ada yang belum yakin bahwa
penyebab kerusuhan sosial adalah kesenjangan sosial. Tidak seperti kesenjangan
ekonomi, kesenjangan sosial cukup sulit diukur secara kuantitatif. Jadi, sulit
menunjukkan bukti-bukti secara akurat. Namun, tidaklah berarti kesenjangan
sosial dapat begitu saja diabaikan dan dianggap tidak eksis dalam perjalanan
pembangunan selama ini. Di bagian ini dicoba menunjukkan realitas dan proses
merebaknya gejala kesenjangan sosial.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka
permasalahan yang muncul adalah antara lain sebagai berikut :
1.
Apa itu kemiskinan?
2.
Apa itu kesenjangan sosial?
3.
Apakah kebijakan pembangunan telah
menciptakan kemiskinan dan kesenjangan sosial di Indonesia pra dan pasca
runtuhnya Orde Baru?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulisan makalah
ini bertujuan:
1.
Untuk mengetahui apa itu kemiskinan
2.
Untuk mengetahui apa itu kesenjangan
social
3.
Untuk mengetahui apakah kebijakan pembangunan
telah menciptakan kemiskinan dan kesenjangan social di Indonesia pra dan pasca
runtuhnya orde baru.
BAB II
KEMISKINAN
DAN KESENJANGAN SOSIAL DI INDONESIA PRA DAN PASCA RUNTUHNYA ORDE BARU
A. KEMISKINAN
1. Pandangan tentang kemiskinan
Pebedaan pandangan dari setiap ahli
tentang kemiskinan merupakan hal yang wajar. Hal ini karena data, dan metode
penelitian yang berbeda , tetapi justru terletak pada latar belakang
idiologisnya. Menurut Weber (Swasono,1987), ideologi bukan saja menentukan berbagai
macam masalah yang dianggap penting, tetapi juga mempengaruhi cara
mendefenisikan masalah sosial ekonomis, dan bagaimana masalah sosial ekonomi
itu diatasi. Kemiskinan disepakati sebagai masalah yang bersifat sosial
ekonomi, tetapi penyebab dan cara mengatasinya terkait dengan ideologi yang
melandasinya. Untuk memahami ideologi tersebut ada tiga pandangan pemikiran
yaitu konservatisme, liberalisme, dan radikalisme (Swasono, 1987). Penganut
masing-masing pandangan memiliki cara pandang yang berbeda dalam menjelaskan
kemiskinan. Kaum konservatif memandang kemiskinan bermula dari karakteristik
khas orang miskin itu sendiri. Orang menjadi miskin karena tidak mau bekerja
keras , boros, tidak mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa wiraswasta,
fatalis, dan tidak ada hasrat untuk berpartisipasi.
Menurut Oscar Lewis (1983),
orang-orang miskin adalah kelompok yang mempunyai budaya kemiskinan sendiri
yang mencakup karakteristik psikologis sosial, dan ekonomi. Kaum liberal
memandang bahwa manusia sebagai makhluk yang baik tetapi sangat dipengaruhi
oleh lingkungan. Budaya kemiskinan hanyalah semacam realistic and
situational adaptation pada linkungan yang penuh diskriminasi dan peluang
yang sempit. Kaum radikal mengabaikan budaya kemiskinan, mereka menekankan peranan
struktur ekonomi, politik dan sosial, dan memandang bahwa manusia adalah
makhluk yang kooperatif, produktif dan kreatif.
Philips dan Legates (1981)
mengemukakan empat pandangan tentang kemiskinan, yaitu Pertama,
kemiskinan dilihat sebagai akibat dari kegagalan personal dan sikap tertentu
khususnya ciri-ciri sosial psikologis individu dari si miskin yang cendrung
menghambat untuk melakukan perbaikan nasibnya. Akibatnya, si miskin tidak
melakukan rencana ke depan, menabung dan mengejar tingkat pendidikan yang lebih
tinggi. Kedua, kemiskinan dipandang sebagai akibat dari sub
budaya tertentu yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kaum miskin adalah
kelompok masyarakat yang memiliki subkultur tertentu yang berbeda dari golongan
yang tidak miskin, seperti memiliki sikap fatalis, tidak mampu melakukan
pengendalian diri, berorientasi pada masa sekarang, tidak mampu menunda
kenikmatan atau melakukan rencana bagi masa mendatang, kurang memiliki
kesadaran kelas, atau gagal dalam melihat faktor-faktor ekonomi seperti
kesempatan yang dapat mengubah nasibnya. Ketiga, kemiskinan
dipandang sebagai akibat kurangnya kesempatan, kaum miskin selalu kekurangan
dalam bidang keterampilan dan pendidikan untuk memperoleh pekerjaan dalam
masyarakat. Keempat, bahwa kemiskinan merupakan suatu ciri
struktural dari kapitalisme, bahwa dalam masyarakat kapitalis segelintir orang
menjadi miskin karena yang lain menjadi kaya. Jika dikaitkan dengan pandangan
konservatisme, liberalisme dan radikalisme, maka poin pertama dan kedua tersebut
mencerminkan pandangan konservatif, yang cendrung mempersalahkan kemiskinan
bersumber dari dalam diri si miskin itu sendiri. Ketiga lebih mencerminkan
aliran liberalisme, yang cendrung menyalahkan ketidakmapuan struktur
kelembagaan yang ada. Keempat dipengaruhi oleh pandangan radikalis yang
mempersalahkan hakekat atau prilaku negara kapitalis.
Masing-masing pandangan tersebut
bukan hanya berbeda dalam konsep kemiskinan saja, tetapi juga dalam implikasi
kebijakan untuk menanggulanginya. Keban (1994) menjelaskan bahwa pandangan
konservatif cendrung melihat bahwa program-program pemerintah yang dirancang
untuk mengubah sikap mental si miskin merupakan usaha yang sia-sia karena akan
memancing manipulasi kenaikan jumlah kaum miskin yang ingin menikmati program
pelayanan pemerintah. Pemerintah juga dilihat sebagai pihak yang justru
merangsang timbulnya kemiskinan. Aliran liberal yang melihat si miskin sebagai
pihak yang mengalami kekurangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan,
pelatihan, pekerjaan dan perumahan yang layak, cendrung merasa optimis tentang
kaum miskin dan menganggap mereka sebagai sumber daya yang dapat berkembang
seperti halnya orang-orang kaya. Bantuan program pemerintah dipandang sangat
bermanfaat dan perlu direalisasikan. Pandangan radikal memandang bahwa
kemiskinan disebabkan struktur kelembagaan seperti ekonomi dan politiknya, maka
kebijakan yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan perubahan kelembagaan
ekonomi dan politik secara radikal.
Menurut Flanagan (1994), ada dua
pandangan yang berbeda tentang kemiskinan, yaitu culturalist dan
structuralist. Kulturalis cendrung menyalahkan kaum miskin, meskipun
kesempatan ada mereka gagal memanfaatkannya, karena terjebak dalam budaya
kemiskinan. Strukturalis beranggapan bahwa sumber kemiskinan tidak terdapat
pada diri orang miskin, tetapi adalah sebagai akibat dari perubahan priodik
dalam bidang sosial dan ekonomi seperti kehilangan pekerjaan, rendahnya tingkat
upah, diskriminasi dan sebagainya. Implikasi dari dua pandangan ini juga
berbeda, terhadap konsep kulturalis perlu dilakukan perubahan aspek kultural
misalnya pengubahan kebiasaan hidup. Hal ini akan sulit dan memakan waktu lama,
dan biaya yang tidak sedikit. Terhadap konsep kulturalis perlu dilakukan
pengubahan struktur kelembagaan seperti kelembagaan ekonomi, sosial dan
kelembagaan lain yang terkait.
2. Pengertian Kemiskinan
Memahamai substansi kemiskinan
merupakan langkah penting bagi perencana program dalam mengatasi kemiskinan.
Menurut Sutrisno (1993), ada dua sudut pandang dalam memahami substansi
kemiskinan di Indonesia. Pertama adalah kelompok pakar dan aktivis Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengikuti pikiran kelompok agrarian populism,
bahwa kemiskinan itu hakekatnya, adalah masalah campur tangan yang terlalu luas
dari negara dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat
pedesaan. Dalam pandangan ini, orang miskin mampu membangun diri mereka sendiri
apabila pemerintah memberi kebebasan bagi kelompok itu untuk mengatur diri
mereka sendiri. Kedua, kelompok para pejabat, yang melihat inti dari masalah
kemiskinan sebagai masalah budaya. Orang menjadi miskin karena tidak memiliki
etos kerja yang tinggi, tidak meiliki jiwa wiraswasta, dan pendidikannya
rendah. Disamping itu, kemiskinan juga terkait dengan kualitas sumberdaya
manusia. Berbagai sudut pandang tentang kemiskinan di Indonesia dalam memahami
kemiskinan pada dasarnya merupakan upaya orang luar untuk memahami tentang
kemiskinan. Hingga saat ini belum ada yang mengkaji masalah kemiskinan dari
sudut pandang kelompok miskin itu sendiri.
Kajian Chambers (1983) lebih melihat
masalah kemiskinan dari dimensi si miskin itu sendiri dengan deprivation
trap, tetapi Chambers sendiri belum menjelaskan tentang alasan terjadinya deprivation
trap itu. Dalam tulisan ini dicoba menggabungkan dua sudut pandang dari
luar kelompok miskin, dengan mengembangkan lima unsur keterjebakan yang
dikemukakan oleh Chambers (1983), yaitu : (1) kemiskinan itu sendiri, (2)
kelemahan fisik, (3) Keterasingan, (4) Kerentanan, dan (5) Ketidak berdayaan.
Pengertian kemiskinan disampaikan
oleh beberapa ahli atau lembaga, diantaranya adalah BAPPENAS (1993)
mendefisnisikan keimiskinan sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan
karena kehendak oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat
dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Levitan (1980) mengemukakan
kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang
dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Faturchman dan
Marcelinus Molo (1994) mendefenisikan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan
individu dan atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Menurut Ellis
(1994) kemiskinan merupakan gejala multidimensional yang dapat ditelaah dari
dimensi ekonomi, sosial politik. Menurut Suparlan (1993) kemiskinan
didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya
suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang
dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan. Reitsma dan Kleinpenning (1994) mendefisnisikan kemiskinan
sebagai ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya, baik yang
bersifat material maupun non material. Friedman (1979) mengemukakan kemiskinan
adalah ketidaksamaan kesempatan untuk memformulasikan basis kekuasaan sosial,
yang meliptui : asset (tanah, perumahan, peralatan, kesehatan), sumber keuangan
(pendapatan dan kredit yang memadai), organisiasi sosial politik yang dapat
dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh
pekerjaan, barang atau jasa, pengetahuan dan keterampilan yang memadai, dan
informasi yang berguna. Dengan beberapa pengertian tersebut dapat diambil satu
poengertian bahwa kemiskinan adalah suatu situasi baik yang merupakan proses
maupun akibat dari adanya ketidakmampuan individu berinteraksi dengan
lingkungannya untuk kebutuhan hidupnya.
3. Budaya Kemiskinan
Sumarjan (1993)
mengemukakan bahwa budaya kemiskinan adalah tata hidup yang mengandung sistem
kaidah serta sistem nilai yang menganggap bahwa taraf hidup miskin disandang
suatu masyarakat pada suatu waktu adalah wajar dan tidak perlu diusahakan
perbaikannya. Kemiskinan yang diderita oleh masyarakat dianggap sudah menjadi
nasib dan tidak mungkin dirubah, karena itu manusia dan masyarakat harus menyesuaikan
diri pada kemiskinan itu, agar tidak merasa keresahan jiwa dan frustrasi secara
berkepanjangan. Dalam rangka budaya miskin ini, manusia dan masyarakat menyerah
kepada nasib dan bersikap tidak perlu, dan bahkan juga tidak mampu menggunakan
sumber daya lingkungan untuk mengubah nasib.
Menurut Oscar Lewis (1983), budaya
kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian, dan sekaligus juga
merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam
masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualist dan berciri kapitalisme.
Budaya tersebut mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa putus asa dan tanpa
harapan, yang merupakan perwujudan dan kesadaran akan mustahilnya mencapai
akses, dan lebih merupakan usaha menikmati masalah yang tak terpecahkan (tak
tercukupi syarat, tidak sanggupan). Budaya kemiskinan melampaui batas-batas
perbedaan daerah, perbedaan pedesaan-perkotaan, perbedaan bangsa dan negara,
dan memperlihatkan perasaan yang mencolok dalam struktur keluarga,
hubungan-hubungan antar pribadi, orientasi waktu, sistem-sistem nilai, dan
pola-pola pembelanjaan.
Menurut Lewis (1983), budaya
kemiskinan dapat terwujud dalam berbagai konteks sejarah, namun lebih cendrung
untuk tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang memiliki seperangkat
kondisi: (1) Sistem ekonomi uang, buruh upahan dan sistem produksi untuk
keuntungan, (2) tetap tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran
bagi tenaga tak terampil; (3) rendahnya upah buruh; (4) tidak berhasilnya
golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisiasi sosial, ekonomi dan
politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah; (5) sistem keluarga
bilateral lebih menonjol daripada sistem unilateral; dan (6) kuatnya
seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan
harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertical, dan sikap hemat,
serta adanya anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidak
sanggupan pribadi atau memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.
Budaya kemiskinan bukanlah hanya
merupakan adaptasi terhadap seperangkat syarat-syarat obyektif dari masyarakat
yang lebih luas, sekali budaya tersebut sudah tumbuh, ia cendrung melanggengkan
dirinya dari generasi ke generasi melaui pengaruhnya terhadap anak-anak. Budaya
kemiskinan cendrung berkembang bila sistem-sistem ekonomi dan sosial yang
berlapis-lapis rusak atau berganti, seperti masa pergantian feodalis ke
kapitalis atau pada masa pesatnya perubahan teknologi. Budaya kemiskinan juga
merupakan akibat penjajahan yakni struktur ekonomi dan sosial pribumi diobrak,
sedangkan atatus golongan pribumi tetap dipertahankan rendah, juga dapat tumbuh
dalam proses penghapusan suku. Budaya kemiskinan cendrung dimiliki oleh
masyarakat strata sosial yang lebih rendah, masyarakat terasing, dan warga
urban yang berasal dari buruh tani yang tidak memiliki tanah.
Menurut Parker Seymour dan Robert J.
Kleiner (1983) formulasi kebudayaan kemiskinan mencakup pengertian bahwa semua
orang yang terlibat dalam situasi tersebut memiliki aspirasi-aspirasi yang
rendah sebagai salah satu bentuk adaptasi yang realistis. Beberapa ciri
kebudyaan kemiskinan adalah : (1) fatalisme, (2) rendahnya tingkat aspirasi,
(3) rendahnya kemauan mengejar sasaran, (4) kurang melihat kemajuan pribadi ,
(5) perasaan ketidak berdayaan/ketidakmampuan, (6) Perasaan untuk selalu gagal,
(7) Perasaan menilai diri sendiri negatif, (8) Pilihan sebagai posisi pekerja
kasar, dan (9) Tingkat kompromis yang menyedihkan. Berkaitan dengan budaya
sebagai fungsi adaptasi, maka suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk mengubah
nilai-nilai yang tidak diinginkan ini menuju ke arah yang sesuai dengan
nilai-nilai golongan kelas menengah, dengan menggunakan metode-metodre
psikiatri kesejahteraan sosial-pendidikan tanpa lebih dahulu (ataupun secara
bersamaan) berusaha untuk secara berarti mengubah kenyataan kenyataan struktur
sosial (pendapatan, pekerjaan, perumahan, dan pola-pola kebudayaan membatasi
lingkup partisipasi sosial dan peyaluran kekuatan sosial) akan cendrung gagal.
Budaya kemiskinan bukannya berasal dari kebodohan, melainkan justru berfungsi
bagi penyesuaian diri.
Hal penting dalam membahas
kemiskinan dan kebudayaan adalah untuk mengetahui seberapa cepat orang-orang
miskin akan mengubah kelakuan mereka, jika mereka mendapat kesempatan-kesempatan
baru; dan macam hambatan atau halangan-halangan yang baik atau buruk yang akan
timbul dari reaksi tersebut terhadap situasi-situasi masa lampau. Untuk
menentukan macam kesempatan-kesempatan yang harus diciptaan untuk menghapus
kemiskinan, yaitu mendorong oang-orang msikin melakukan adapatasi terhadap
kesempatan-kesempatan yang bertentangan dengan pola-pola kebudayaan yang mereka
pegang teguh dan cara mereka dapat mempertahankan pola-pola kebudayaan yang
mereka pegang teguh tersebut agar tidak akan bertentangan dengan
aspirasi-aspirasi lainnya. Hanya orang-orang miskin yang tidak mampu menerima
kesempatan-kesempatan karena mereka tidak dapat membuang norma-norma kelakukan
yang digolongkan sebagai pendukung kebudayaan kelas bawah.
Akibat kemiskinan tersebut, sebagian
besar penduduk Indonesia menghadapinya dengan nilai-nilai pasrah atau nrimo
(kemiskinan kebudayaan). Terbentuknya pola pikir dan prilaku pasrah itu dalam
jangka waktu yang lama akan berubah menjadi semacam “institusi permanen” yang
mengatur prilaku mereka dalam menyelesaikan problematika di dalam hidup mereka
atau krisis lingkungan mereka sendiri (Lewis, 1968 dalam Haba, 2001). Menurut
penganut paradigma kemiskinan kebudayaan ini, orang yang berada dalam kondisi
serupa tidak sanggup melihat peluang dan jalan keluar untuk memperbaiki
kehidupannya. Karakteristik kelompok ini terlihat dari pola substensi mereka
yang berorientasi dari tangan ke mulut (from hand to mouth) (Haba, 2001
).
4. Kemiskinan Struktural
Kemiskinan struktural menurut Selo
Sumarjan (1980) adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat
karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber
pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan strukturl adalah
suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya
bersumber pada struktur sosial, dan oleh karena itu dapat dicari pada struktur
sosial yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Golongan kaum miskin ini
terdiri dari ; (1) Para petani yang tidak memiliki tanah sendiri, (2) Petani
yang tanah miliknya begitu kecil sehingga hasilnya tidak cukup untuk memberi
makan kepada dirinya sendiri dan keluargamnya, (3) Kaum buruh yang tidak
terpelajar dan tidak terlatih (unskilled labourerds), dan (4) Para pengusaha
tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah (golongan ekonomi lemah).
Kemiskinan struktural tidak sekedar
terwujud dengan kekurangan sandang dan pangan saja, kemiskinan juga meliputi
kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan
komunikasi dengan dunia sekitarnya, sosial yang mantap.
Beberapa
ciri kemiskinan struktural, menurut Alpian (1980) adalah (1) Tidak ada atau
lambannya mobilitas sosial (yang miskin akan tetap hidup dengan kemelaratanya
dan yang kaya akan tetap menikmati kemewahannya), (2) mereka terletak dalam
kungkungan struktur sosial yang menyebabkan mereka kekurangan hasrat untuk
meningkatkan taraf hidupnya, dan (3) Struktur sosial yang berlaku telah
melahirkan berbagai corak rintangan yang menghalangi mereka untuk maju.
Pemecahan permasalahan kemiskinan akan bisa dilakukan bilamana struktur sosial
yang berlaku itu dirubah secara mendasar.
Soedjatmoko (1984) memberikan contoh
kemiskinan structural; (1) Pola stratifikasi (seperti dasar pemilikan dan penguasaan
tanah) di desa mengurangi atau merusak pola kerukukan dan ikatan timbal-balik
tradisional, (2) Struktur desa nelayan, yang sangat tergantung pada juragan di
desanya sebagai pemilik kapal, dan (3) Golongan pengrajin di kota kecil atau
pedesaan yang tergantung pada orang kota yang menguasai bahan dan pasarnya.
Hal-hal tersebut memiliki implikasi tentang kemiskinan structural : (1)
kebijakan ekonomi saja tidak mencukupi dalam usaha mengatasi
ketimpangan-ketimpangan struktural, dimensi struktural perlu dihadapi juga
terutama di pedesaan; dan (2) perlunya pola organisasi institusi masyarakat
pedesan yang disesuaikan dengan keperluannya, sebaga sarana untuk mengurangi
ketimpangan dan meningkatkan bargaining power, dan perlunya proses Sosial
learning yang spesifik dengan kondisi setempat.
Adam Malik (1980) mengemukakan bahwa
untuk mencari jalan agar struktur masyarakat Indonesia dapat diubah sedemikian
rupa sehingga tidak terdapat lagi di dalamnya kemelaratan structural. Bantuan
yang terpenting bagi golongan masyarakat yang menderita kemiskinan struktural
adalah bantuan agar mereka kemudian mampu membantu dirinya sendiri.
Bagaimanapun kegiatan pembangunan yang berorientasi pertumbuhan maupun
pemerataan tidak dapat mengihilangkan adanya kemiskinan struktural.
Pada hakekatnya perbedaan antara si
kaya dengan si miskin tetap akan ada, dalam sistem sosial ekonomi manapun. Yang
lebih diperlukan adalah bagaimana lebih memperkecil kesenjangan sehingga lebih
mendekati perasaan keadilan sosial. Soedjatmoko (1984) berpendapat bahwa,
pembangunan yang semata-mata mengutamakan pertumbuhan ekonomi akan
melanggengkan ketimpangan struktural. Pola netes ke bawah memungkinkan
berkembangnya perbedaan ekonomi, dan prilaku pola mencari nafkah dari pertanian
ke non pertanian, tetapi proses ini akan lamban dan harus diikuti dengan
pertumbuhan yang tinggi. Kemiskinan tidak dapat diatasi hanya dengan membantu
golongan miskin saja, tanpa menghadapi dimensi-dimensi struktural seperti
ketergntungan, dan eksploitasi. Permasalahannya adalah dimensi-dimensi
struktural manakah yang mempengarhui secara langsung terjadinya kemiskinan,
bagaimana ketepatan dimensi untuk kondisi sosial budaya setempat.
Sinaga dan White (1980) menunjukkan
aspek-aspek kelembagaan dan struktur agraris dalam kaitannya dengan distribusi
pendapatan kemiskinan: (1) penyebaranan teknologi, bahwa bukan teknologi itu
sendiri, tetapi struktur kelembagaan dalam masyarakat tenpat teknologi itu
masuk yang menentukan bahwa teknologi itu mempunyai dampak negatif atau positif
terhadap distribusi pendapatan (2) lembaga perkreditan pedesaan, perkereditan
yang menginginkan tercapainya pemerataan pendapatan, maka program perkreditan
tersebut justru harus diskriminatif, artinya subsidi justru harus diberikan
kepada petani kecil, bukan pemerataan berdasaran pemilikan atau penguasaan
lahannya; (3) kelembagaan yang mengatur distribusi penguasaan atas
faktor-faktor produksi di pedesaan turut menentukan tingkat pendapatan dari
berbagai golongan di masyarakat,karena tidak semata-mata ditentukan oleh
kekuatan faktor ekonomi (interaksi antara penawaran dan permintaan) saja: dan
(4) Struktur penguasaan atas sumber-sumber produksi bukan tenaga kerja
(terutama tanah dan modal) yang lebih merata dapat meningkatkan pendapatan
penduduk yang berada dibawahi garis kemiskinan.
5.Faktor Kemiskinan
Di dalam
suatu negara, pastilah terdapat tantangan besar di dalam kehidupan
bermasyarakat. Salah satu tantangan tersebut adalah kemiskinan. Di Indonesia
sendiri, terdapat begitu banyak masyarakat yang terjerat dalam kemiskinan. Hal
ini tentu saja tidak di inginkan oleh masyarakat Indonesia. Semua akibat
tentunya terdapat sebabnya. Seperti kemiskinan ini, tidak terjadi begitu saja.
Namun, hal ini terjadi mungkin dikarenakan faktor-faktor dalam masyarakat itu
sendiri.
Kemiskinan
sendiri mempunyai arti suatu keadaan di mana seseorang itu kekurangan
bahan-bahan keperluan hidup.
Dari
pengertian tersebut, dapat kita analisis sebab atau faktor-faktor yang menjadi
penyebab kemiskinan tersebut. Faktor-faktor yang menjadi penyebab kemiskinan
antarlain:
a. Tingkat pendidikan masyarakat yang
rata-rata rendah.
b. Cara berpikir yang masih tradisional
dan konservatif.
c. Apatis dan anti hal-hal baru.
d. Mentalitas dan etos kerja yang kurang baik.
e. Keadaan alam yang kurang mendukung.
f. Keterisoliran secara geografis dari
pusat.
g. Tiadanya potensi atau produk andalan.
h. Rendahnya kinerja dan budaya korup
aparatur pemerintah daerah.
6. Dampak Kemiskinan
Dampak dari kemiskinan terhadap masyarakat umumnya
begitu banyak dan kompleks, diantaranya :
a.
Pengangguran.
Dengan banyaknya pengangguran berarti banyak masyarakat tidak memiliki
penghasilan karena tidak bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak memiliki
penghasilan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Secara otomatis
pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli masyarakat. Sehingga, akan
memberikan dampak secara langsung terhadap tingkat pendapatan, nutrisi, dan tingkat
pengeluaran rata-rata.
b.
Kekerasan.
Kekerasan-kekerasan yang marak terjadi akhir-akhir ini merupakan efek dari
pengangguran. Karena seseorang tidak mampu lagi mencari nafkah melalui jalan
yang benar dan halal. Ketika tak ada lagi jaminan bagi seseorang dapat bertahan
dan menjaga keberlangsungan hidupnya maka jalan pintas pun dilakukan. Misalnya,
merampok, menodong, mencuri, atau menipu. belakangan banyak oknum-oknum yang
menggunakan modus penipuan melalui sms.
c.
Pendidikan
Tingkat putus sekolah yang tinggi merupakan fenomena yang terjadi dewasa ini.
Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat miskin tidak dapat lagi menjangkau
dunia sekolah atau pendidikan. Karena untuk makan satu kali sehari saja mereka
sudah kesulitan.
Kondisi seperti ini membuat masyarakat miskin semakin terpuruk lebih dalam.
Tingginya tingkat putus sekola berdampak pada rendahya tingkat pendidikan
seseorang. Dengan begitu akan mengurangi kesempatan seseorang mendapatkan
pekerjaan yang lebih layak. Ini akan menyebabkan bertambahnya pengangguran
akibat tidak mampu bersaing di era globalisasi yang menuntut keterampilan di
segala bidang.
d.
Kesehatan
Seperti kita ketahui, biaya pengobatan sekarang sangat mahal. Hampir setiap
klinik pengobatan apalagi rumah sakit swasta besar menerapkan tarif atau ongkos
pengobatan yang biayanya melangit. Sehingga, biayanya tak terjangkau oleh
kalangan miskin.
B.
Kesenjangan Sosial
1. Pengertian Kesenjangan Sosial
kesenjangan sosial diartikan sebagai
kesenjangan (ketimpangan) atau ketidaksamaan akses untuk mendapatkan atau
memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Sumber daya bisa berupa kebutuhan
primer, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, peluang berusaha dan kerja,
dapat berupa kebutuhan sekunder, seperti sarana pengembangan usaha, sarana
perjuangan hak azasi, sarana saluran politik, pemenuhan pengembangan karir, dan
lain-lain.
2. Faktor Penyebab Kesenjangan
Sosial
Kesenjangan sosial dapat disebabkan
oleh adanya faktor-faktor penghambat sehingga mencegah dan menghalangi
seseorang untuk memanfaatkan akses atau kesempatan-kesempatan yang tersedia.
Secara teoritis sekurang kurangnya ada dua faktor yang dapat menghambat.
Pertama, faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang (faktor
internal). Rendahnya kualitas sumberdaya manusia karena tingkat pendidikan
(keterampilan) atau kesehatan rendah atau ada hambatan budaya (budaya
kemiskinan). Kesenjangan sosial dapat muncul sebagai akibat dari nilai-nilai
kebudayaan yang dianut oleh sekelompok orang itu sendiri. Akibatnya,
nilai-nilai luas, seperti apatis, cenderung menyerah pada nasib, tidak
mempunyai daya juang, dan tidak mempunyai orientasi kehidupan masa depan. Dalam
penjelasan Lewis (1969), kesenjangan sosial tipe ini muncul karena masyarakat
itu terkungkung dalam kebudayaan kemiskinan.
Kedua, faktor-faktor yang berasal
dari luar kemampuan seseorang. Hal ini dapat terjadi karena birokrasi atau ada
peraturan-peraturan resmi (kebijakan), sehingga dapat membatasi atau
memperkecil akses seseorang untuk memanfaatkan kesempatan dan peluang yang
tersedia. Dengan kata lain, kesenjangan sosial bukan terjadi karena seseorang
malas bekerja atau tidak mempunyai kemampuan sebagai akibat keterbatasan atau
rendahnya kualitas sumberdaya manusia, tetapi karena ada hambatan-hambatan atau
tekanan-tekanan struktural. Kesenjangan sosial ini merupakan salah satu
penyebab munculnya kemiskinan structural. Alfian, Melly G. Tan dan Selo
Sumarjan (1980:5) mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan kemiskinan struktural
adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur
sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan
yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural meliputi kekurangan
fasilitas pemukiman, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikatif, kekurangan
fasilitas untuk mengembangkan usaha dan mendapatkan peluang kerja dan
kekurangan perlindungan hukum.
Faktor mana yang paling dominan
menyebabkan kesenjangan sosial. Kendati faktor internal dan kebudayaan
(kebudayaan kemiskinan) mempunyai andil sebagai penyebab kesenjangan sosial,
tetapi tidak sepenuhnya menentukan. Penjelasan itu setidaknya mengandung dua
kelemahan. Pertama, sangat normatif dan mengundang kecurigaan dan prasangka
buruk pada orang miskin serta mengesampingkan norma-norma yang ada (Baker,
1980:6). Kedua, penjelasan itu cenderung membesar-besarkan kemapanan
kemiskinan. Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa kaum miskin senantiasa
bekerja keras, mempunyai aspirasi tentang kehidupan yang baik dan mempunyai
motivasi untuk memperbaiki kehidupan mereka. Mereka mampu menciptakan pemenuhan
tutuntan kehidupan mereka (periksa misalnya kajian Bromley dan Chris Gerry,
1979; Papanek dan Kuncoroyakti, 1986; dan Pernia, 1994). Setiap saat orang
miskin berusaha memperbaiki kehidupan dengan cara bersalin dan satu usaha ke
usaha lain dan tidak mengenal putus asa (Sethuraman, 1981; Steele, 1985).
Jika demikian halnya, maka ihwal
kesenjangan sosial tidak semata-mata karena faktor internal dan kebudayaan,
tetapi lebih disebabkan oleh adanya hambatan struktural yang membatasi serta
tidak memberikan peluang untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang
tersedia. Breman (1985:166) menggambarkan bahwa bagi yang miskin “jalan ke atas
sering kali dirintangi”, sedangkan: “jalan menuju ke bawah terlalu mudah
dilalui”. Dengan kata lain, gejala kesenjangan sosial dan kemampuan kemiskinan
lebih disebabkan adanya himpitan structural. Perlu dipertanyakan mengapa
masyarakat dan kaum miskin pasrah dengan keadaan itu? Ketidakberdayaan
(politik) dan kemiskinan kronis menyebabkan mereka mudah ditaklukkan dan
dituntun untuk mengikuti kepentingan dan kemauan elit penguasa dan pengusaha.
Apalagi tatanan politik dan ekonomi dikuasai oleh elit penguasa dan pengusaha.
C.
Kebijakan Pembangunan dan Kesenjangan Sosial
Semenjak Orde Baru berkuasa, ada beberapa kebijakan yang
diterapkan dalam bidang ekonomi. Salah satu kebijakan adalah memacu pertumbuhan
ekonomi dengan mengeluarkan undang-undang Penanaman Modal Asing dengan
memberikan persyaratan dan peraturan-peraturan yang lebih ringan dan menarik
kepada investor dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya. Kegiatan industri
meningkat tajam dan sangat pada GDP mengalami kenaikan dari sekitar 9% pada
tahun 1970 menjadi sekitar 17% pada tahun 1992 (Booth dan McCawley, 1986:82 dan
Sjahrir 1993:16). Pertumbuhan ekonomi juga mengalami kenaikan. Pendek kata,
selama Orde Baru perekonomian mengalamii kemajuan pesat. Namun, bersamaan
dengan itu ketimpangan sosial atau sekelompok kecil masyarakat, terutama mereka
yang memiliki akses dengan penguasa politik dan ekonomi, sedangkan sebagian
besar yang kurang atau hanya memperoleh sedikit manfaat. Bahkan, ada masyarakat
merasa dirugikan dan tidak mendapat manfaat sama sekali. Kesenjangan sosial
semakin terasa mengkristal dengan munculnya gejala monopoli. Monopoli dan
oligopoly dan memperkecil akses usaha kecil untuk menggambarkan usaha mereka.
Menurut Revrisond Baswer (dikutip dalam Bernes (1995:1) hampir seluruh cabang
produksi dikuasai oleh perusahaan konglomerat. Perusahaan-perusahaan besar
konglomerat menguasai berbagai kegiatan produksi murni dari produksi,
eksploitasi hasil hutan, konstruksi, industri otomotif, transpotasi,
perhotelan, makanan, perbankan, jasa-jasa keuangan, dan media komunikasi.
Diperkirakan 200 konglomerat menguasai 58 persen PDB. Usaha-usaha rakyat yang
kebanyakan kecil dan tradisional hanya menguasai 8 persen. Kesenjangan sosial ini
tidak hanya mengganggu pertumbuhan ekonomi rakyat tetapi menyebabkan ekonomi
rakyat mengalami proses marjinalisasi.
Selain kebijakan ekonomi, kebijakan yang diduga turut
menstrimulir kesenjangan social adalah kebijakan penataan lahan (tata ruang).
Penerapan kebijakan penataan lahan selama ini belum dapat mendatangkan manfaat
bagi masyarakat. Berbagai kekuatan dan kepentingan telah mempengaruhi dalam
penerapan. Tarik menarik berbagai kekuatan dan kepentingan telah menimbulkan
konflik antara pengusaha besar dan masyarakat. Dalam konflik acapkali
kepentingan masyarakat (publik) diabaikan dan cenderung mengutamakan
kepentingan sekelompok orang (pengusaha). Penelitian Suhendar (1994)
menyimpulkan bahwa: ”Kooptasi tanah-tanah : terutama di pedesaan oleh kekuatan
besar ekonomi dan luar komunitas semakin menggejala. Pembangunan sektor
ekonomi, seperti pembangunan kawasan industri, pabrik-pabrik, sarana wisata
telah menyita banyak lahan penduduk. Demikian pula, instansi-instansi
pemerintah memerlukan tanah untuk pembangunan perkantoran, instruktural
ekonomi, fasilitas sosial, perumahan, dan lain-lain. Di perkotaan, pemilik
modal (konglomerat) bekerja sama dengan birokrasi membeli tanah-tanah penduduk
untuk kepentingan pembangunan perumahan mewah, pusat perbelanjaan dan lain-lain.
Begitu pula di pedesaan pemilik modal menggusur penduduk dan memanfaatkan Iahan
untuk kepentingan agroindustri, perumahan mewah, dan lapangan golf. Dalam
banyak kasus, banyak tanah negara yang selama ini dikuasai penduduk dengan
status tidak jelas di jadikan sasaran dan cara termudah untuk menggusur
penduduk”
Dampak dari penerapan kebijakan penatagunaan lahan antara
lain adalah terjadinya marjinalisasi dan pemiskinan masyarakat desa yang
tanahnya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan yang dalam banyak hal belum
dan kurang dapat memberikan keuntungan ekonomis bagi rakyat.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
kebijakan pembangunan yang diterapkan oleh Pemerintahan Orde Baru bukan hanyak
menciptakan kemiskinan dan kesenjangan pada masa itu, melainkan dampak
kebijakan tersebut telah menciptakan kemiskinan dalam berbagai bentuk baik
budaya kemiskinan maupun kemiskinan struktural hingga pasca runtuhnya orde baru
(masa reformasi). Kebijakan pemerintah pada era tersebut pun telah menciptakan
kesenjangan sosial, baik kesenjangan antardaerah, antargolongan maupun antarmasyarakat
yang hingga kini belum dapat diperbaiki oleh pemerintahan era reformasi.
DAFTAR PUSTAKA
Alfinn, Mely G. Tan, dan Soemardjan.
1980. Kemiskinan Struktural Suatu Bunga
Rampai. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial.
Baker,
David, 1980. Memahami kemiskinan di Kota.
Prisma, hal. 3-8.
Bappenas.
1993. Panduan Program Inpres Desa
Tertinggal. Jakarta.
Bernas. 1995. Golkar Akan Perjuangkan Adanya Perimbangan Fasilitas Krediti antara
Pengusaha Besar dan Kecil. Rabu, 24 Agustus, hal 5.
Booth, Anne
dan McCawley. 1986. Ekonomi Orde Baru.
Jakarta: Gramedia.
Breman, Jan, 1985, “Sistem tenaga
Kerja Dualistis: Suatu Kritik Terhadap Konsep Sektor Informal” . dalam Chris
Manning dan Tajuddin Noor Effendi (Ed), Urbanisasi, Pengangguran, dan sector
Informal di Jakarta., Gramedia. Jakarta.
Chambers,
Robert. 1983. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. LP3ES, Jakarta.
Ellis,
G.F.R. 1984. The Demotion Of Poverty. Social Indicator Research.
Faturrochman, Marcelius Molo.
“Karakteristik Rumah Tangga Miskin”. Populasi, Volume 5, Nomor 1, Tahun 1994.
Lewis. “Kebudayaan Kemiskinan”;
Dalam Kemiskinan di Perkotaan di edit oleh Parsudi Suparlan, Jakarta – Sinar
Harapan – Yayasan Obor 1983.
Mubyarto, Loekman Soetrisno, dan
Michael Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan. Studi Ekonomi Antropologi di Desa
Pantai, Rajawali, Jakarta.
Seymour Parker, dan Robert J.
Kleiner. Lewis. “Kebudayaan Kemiskinan Sebuah Dimensi Penyesuaian Diri”; Dalam
Kemiskinan di Perkotaan di edit oleh Parsudi Suparlan, Jakarta – Sinar Harapan
– Yayasan Obor 1983.
Suhendar, Endang, 1994, Pemetaan
Pola-Pola Sengketa Tanah di Jawa Barat, Yayasan Akatiga, Bandung.
Sumardjan,
Selo. 1993. Kemiskinan (Suatu Pandangan Sosiologis). Makalah, Jakarta.
Suparlan,
Parsudi. 1993. Kemiskinan di Perkotaan. Yayasan Obor, Indonesia.